Coba jawab dengan jujur, mana yang lebih sering Anda lakukan ketika seseorang curhat kepada Anda: memberi solusi atau sekedar mendengarkan? Lalu jawab lagi, mana yang sebenarnya lebih berguna untuk mereka?
Beberapa waktu yang lalu saya mengunjungi NV, seorang Life Coach yang senior yang sudah menerbitkan buku dan produk lainnya, untuk berkonsultasi tentang kondisi rumit yang sedang saya alami. Sewaktu di perjalanan saya sudah menyiapkan diri dengan hal-hal yang ingin saya ceritakan kepadanya. Saya ingin sekali menumpahkan isi hati kepada orang yang lebih berpengetahuan dan berpengalaman daripada saya.
Namun, kira-kira lima belas menit masuk di dalam diskusi, saya terkejut ketika aliran cerita yang saya sampaikan tiba-tiba dipotong dengan sebuah pertanyaan yang modelnya sangat saya kenali (yaitu salah satu strategi terapi NLP). Beliau langsung mengarahkan saya secara tajam pada usaha mencari solusi, mengarahkan saya pada alur-alur yang lebih konstruktif dibandingkan mendengarkan curahan hati saya yang panjang lebar.
Di satu sisi, hal tersebut memang berguna dan ada bagusnya. Namun di sisi lain, itu bukan hal yang saya butuhkan! Saya terkejut sekali NV yang notabene sudah mengecap lebih banyak kebijakan dan jam terbang dibanding saya ternyata bersikap cukup berjarak, metodologis dan dingin ketika berinteraksi dengan klien. Setelah mengambil alih kendali pembicaran, Beliau mengarahkan saya dengan prosesi healing tertentu dan menutup sesi dengan hipnoterapi.
Sekali lagi, tidak ada yang salah dengan hal-hal tersebut, tapi masalahnya adalah saya tidak membutuhkan solusi. Saya membutuhkan empati. Sepanjang pengalaman saya, empati selalu menjadi kunci terbesar dalam proses terapi, perawatan dan penyembuhan. Percuma jika kita menemukan semua obat dan solusi yang kita butuhkan namun tetap merasa berjalan sendirian, tidak dimengerti, atau terasing.
Jurnal Family Medicine bulan Juli kemarin menulis tentang penelitian University of Wisconsin School of Medicine and Public Health pada 350 pasien yang terjangkit influenza. Hasil kesimpulan yang didapat adalah pasien sembuh jauh lebih cepat ketika dilayani oleh seorang dokter yang mampu melayani dengan empati.
“This shows if you perceive your doctor as empathetic, that might influence your immune system and help you recover faster from the common cold,” said David Rakel, MD, director of integrative medicine and lead author of the study. “Out of everything that’s been studied – zinc, vitamin C, anti-viral medications – nothing has worked better at fighting a cold than being kind to people.”
Penelitian di atas memang berkisah tentang kondisi medis, namun saya yakin hal yang sama juga berlaku pada kondisi psikologis. Anda akan jauh lebih membebaskan, menenangkan, menyembuhkan, melegakan, mendukung, menghangatkan, membantu, dan berguna jika Anda bersedia mendengarkan curhatan seorang sahabat dengan empati… daripada berlagak menjadi konselor yang cerdas dan punya berbagai macam trik solusi.
Jadi di kala berikutnya seorang teman atau anggota keluarga curhat tentang kesulitan mereka, kendalikan ego Anda yang ingin jadi penuntas masalah. Kemungkinan besar mereka sudah tahu apa yang perlu dilakukan. Mereka hanya perlu tahu ada orang yang mengetahui kisah mereka dan bersedia menerima mereka apa adanya.
“We’re trying to create an understanding in our medical students that they can have a positive effect with whatever they prescribe based on how they relate to another human being. This isn’t about trickery. It’s about activating the body’s healing mechanisms.“
Menjadi dukun curhat adalah panggilan yang mulia, asal Anda bisa melakukannya tanpa motivasi udang di balik batu.
Sabtu, 16 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar