Hanya ada dua hal di dunia ini yang bisa membuat orang tersenyum merekah bahagia dengan wajah puas berseri di tengah malam: seks dan midnite sale. Jadi ketika beberapa hari lalu saya dan kekasih berselancar di keramaian sebuah pusat perbelanjaan besar yang sedang mengadakan pesta diskon tengah malam tersebut, memperhatikan keriangan lautan manusia dengan kantong belanjaan warna-warni mereka, saya tidak bisa berhenti berpikir, “Benarkah kita bisa membeli… kebahagiaan?”
Banyak sebab-akibat kebahagiaan dan ilusi kebahagiaan, termasuk kemarin tentang bagaimana penelitian lebih dari 70 tahun membuktikan bahwa kondisi finansial tidak mampu memberikan kebahagiaan. Hari ini saya akan mengambil satu langkah lebih maju lagi dengan mengungkap bagaimana seni memakai uang dan kekayaan untuk meningkatkan kebahagiaan.
Ya, Anda tidak salah dengar… jika Anda mengerti bagaimana caranya memakai uang secara bijak, maka Anda akan menikmati hidup dengan lebih bahagia. Uang adalah budak yang baik, namun tuan yang buruk. Jadi nafsu untuk memiliki dan membeli-lah yang membuat Anda kehilangan kebahagiaan, karena hal-hal tersebut merongrong jiwa Anda sehingga merasa kurang sempurna (atau dalam arti lain, tidak bisa bahagia dengan diri Anda sendiri).
“Psychologists and economist have found that money does matter to your sense of happiness, but it doesn’t matter that much. Beyond the point at which people have enough to comfortably feed, clothe, and house themselves, having more money—even a lot more money—makes them only a little bit happier. Recent other studies have suggested that merely thinking about money makes us more solitary and selfish, and steers us away from the spending that promises to make us happiest.“
Jika ingin membeli candu kebahagiaan, pastikan Anda tidak mengeluarkannya untuk konsumsi barang, melainkan untuk konsumsi pengalaman. Mengapa barang dan materi tidak bisa membuat kita merasa bahagia? Alasannya terletak pada salah satu dari sifat syaraf manusia: membiasakan diri (habituation). Ketika sensor kita dihadapkan pada data stimulus yang sama berulang-ulang kali, maka sel-sel tersebut akan jenuh, berhenti beroperasi dan tidak menikmatinya lagi.
Otak manusia awalnya akan memperlakukan jam baru yang Anda miliki sebagai barang mahal yang lux dan memuaskan, namun tunggu saja beberapa lama, otak berangsur-angsur menginterpretasikannya sebagai onggokan besi yang berdetik. Itulah efek biopsikologis yang terjadi pada materi apapun yang kita beli. Dan bukan hanya sel otak kita membiasakan diri terhadap barang-barang tersebut, namun sel-sel itu juga kecanduan untuk mencari barang-barang baru lainnya untuk merasakan sensasi yang serupa. Akibatnya kita selalu dibayang-bayangi rasa takut dan kecewa.
Sebaliknya, konsumsi pengalaman, menurut Drake Bennet dalam tulisannya Happiness: A buyer’s guide, adalah hal-hal yang tidak akan lekang oleh waktu. Sel sensor otak juga tidak akan menjadi bosan dan kehilangan sensasi sekalipun sebuah pengalaman sudah terjadi beberapa minggu, bulan, atau tahun yang lalu. Justru semua memori pengalaman-pengalaman akan bertambah indah dan membahagiakan seiring pertambahan waktu.
Jadi praktisnya, jika Anda ingin meningkatkan kebahagiaan, gunakan uang Anda untuk liburan, makan siang atau makan malam yang sedikit lebih unik atau eksotis, mencoba tempat-tempat aktifitas baru, menyaksikan pertunjukan, dsb. Lebih jauh lagi, Anda akan jauh lebih berbahagia jika membelikan pengalaman-pengalaman tersebut untuk orang lain yang Anda sayangi, bukannya untuk diri sendiri.
“Taking a friend to lunch, it turns out, makes us happier than buying a new outfit. Splurging on a vacation makes us happy in a way that splurging on a car may not. So one of the best predictors of happiness is a strong social network; spending money on others is the one thing sure to make us significantly happier. Money makes you most happy if you don’t spend it on yourself. Of course not giving it all away, but just reallocating as little as $5 on a given day can make a difference in happiness.“
Kembali lagi ke pemandangan midnite sale beberapa malam yang lalu itu, saya tidak memungkiri mereka terlihat bahagia, sekaligus saya meringis pilu terbayang akan kesendirian, kelelahan dan keterpurukan hubungan mereka dengan orang-orang yang disayangi ketika efek candu itu mereda. Mengutip istilah Michael Eysenck, “a hedonic threadmill.”
Saya harap Anda kini bisa lebih bijaksana dalam membeli kebahagiaan. Pastikan Anda sudah terlebih dahulu bahagia sebelum bersusah-susah mengeluarkan uang untuknya. Dan oh ya, tentang kebahagiaan di tengah malam, berdasarkan pengalaman, saya sangat-sangat merekomendasikan Anda untuk menggabungkan kedua hal tersebut sekaligus. Puncak pengalaman yang sensasional… percayalah!
Sabtu, 16 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar