Selasa, 22 Desember 2009

Mengapa Pusat Keramaian Jadi Tempat Bunuh Diri?

Kamis, 17/12/2009 11:00 WIB -

Setidaknya dalam dua bulan ini kita disuguhi sebuah kejadian tragis, yakni maraknya aksi bunuh diri dengan mengambil tempat di tempat keramaian. Tempat yang dipilih itu mulai dari mal, pusat perbelanjaan lainnya hingga apartemen. Semua tempat-tempat tersebut berada di dalam pusat perkotaan. Dengan fenomena tersebut, patut kita tanyakan ada gejala apakah dengan masyarakat kita saat ini.

Ambil contoh kejadian yang terjadi di Apartemen Harmoni yang satu Kompleks Harmoni Jakarta, Selasa (15/12). Seorang wanita yang juga pengusaha mapan nekat bunuh diri terjun dari apartemennya dan jatuh ke lantai tujuh. Beberapa hari sebelumnya, seorang pembantu rumah tangga juga meloncat bunuh diri dari lantai 11 Apartemen Gading River View, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Dan masih banyak lagi kejadian serupa yang susul menyusul menjadi tontonan mengerikan bagi masyarakat. Karena kejadian itu berlangsung di tengah pusat keramaian yang langsung bisa disaksikan oleh banyak mata.

Para pelaku pun datang dari beragam latar belakang dan profesi. Mulai dari pengusaha, pembantu rumah tangga, pelajar, ibu rumah tangga hingga tenaga kerja wanita yang baru pulang dari luar negeri.

Dari kejadian itu ada hal yang menarik yakni, mulai bergesernya tempat untuk aksi bunuh diri. Orang kini tak lagi harus bersembunyi untuk mengakhiri nyawanya sendiri. Kebiasaan yang berlangsung selama ini, mereka malu melakukan aksi bunuh diri sehingga memilih tempat-tempat yang tersembunyi mulai dari kamar pribadi, kamar mandi atau tempat-tempat yang tidak terlihat oleh orang lain.

Namun dalam beberapa bulan terakhir, ada fenomena yang ganjil dilakukan mereka yang nekat mengakhiri hidupnya. Mengapa mereka memilih tempat-tempat keramaian dalam mengakhiri hidupnya. Apakah ini hanya sekadar latah mengikuti orang lain, atau adakah keseragaman pandangan dalam proses pemilihan tempat tersebut.

Bisa saja, ini merupakan sebuah unjuk rasa atau protes terhadap keadaan sosial saat ini. Mereka ingin tak hanya sekadar mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri tetapi juga ingin agar jalan yang dipilihnya juga menjadi pemikiran bagi yang lain. Bisa saja mereka ingin mempertontonkan bahwa hidup sekarang sudah tak lagi bersahabat, atau kehidupan di perkotaan yang semakin individualistis yang semuanya hanya diukur dengan materi yang semakin menekan hati dan perasaan orang.

Karena kalau dilihat dari data statistik, mereka yang nekat meloncat dari gedung apartemen untuk mengakhiri hidupnya statusnya beragam. Bahkan jarang yang status sosialnya dari kelas menengah bawah. Mereka kebanyakan adalah berasal dari kalangan menengah atas karena dari sisi materi berkecukupan. Karena itu kalau alasan bunuh diri tersebut karena tekanan ekonomi, maka pastilah tidak. Dipastikan mereka yang nekat melakukan aksi bunuh diri di pusat keramaian itu bukan karena latar belakang ekonomi.

Menurut Norman Wright, seorang psikolog, dari data penelitian yang dilakukannya, latar belakang aksi bunuh diri bisa dikalkulasikan karena alasan berikut. Sebanyak 10 persen orang yang bunuh diri dengan alasan yang tidak jelas. Lalu sebanyak 25 persen digolongkan sebagai orang-orang yang menderita, bisa karena ekonomi atau penyakit dan lainnya. Dan sebanyak 40 persennya lagi melakukan bunuh diri menurut kata hati ketika mengalami gangguan emosional. Dari alasan yang terakhir ini, bisa dikatakan bahwa persoalan emosi seseorang memberi pengaruh yang sangat besar terhadap tindakan nekatnya.

Gangguan emosional tersebut biasanya lebih pada persoalan tekanan kejiwaan dan bukan karena tekanan ekonomi atau materi. Mereka yang nekat bunuh diri di pusat-pusat keramaian tersebut mungkin lebih tepat kita kategorikan dalam alasan yang 40 persen tersebut. Ketika stres atau tekanan jiwa begitu hebat menguasai mereka, saat itulah mereka memutuskan untuk bunuh diri.

Aksi bunuh diri menjadi sarana “protes” kepada kondisi sosial saat ini yang semakin “kejam” bagi sebagian orang. Sendi-sendi kehidupan sosial kini tak lagi bersahabat, nyaman dan menenteramkan. Karena itulah, mereka menilai untuk apa harus bertahan hidup. Mereka ingin mempertontonkan kepada masyarakat pilihan yang ditempuhnya.
Sekarang tugas kita adalah bagaimana bisa mengeliminasi fenomena semacam ini.

Tanggung jawab kita sebagai makhluk sosial untuk selalu menjadi sahabat bagi yang lain. Orang yang punya pemikiran mengakhiri hidupnya adalah orang yang sedang mencari pertolongan. Mana kala pertolongan itu tak kunjung datang maka yang terjadi adalah pemikiran menjadi realitas yang dipilih. Cara yang paling ringan untuk menolong adalah adalah membuat hidup anda serta orang-orang sekeliling Anda merasa nyaman dalam menjalani kehidupan ini. Jangan buat hidup ini individualistis dan selalu pedulilah dengan sesama. Tingkat stres setiap orang pasti dirasakan dengan kadarnya masing-masing. (***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar