Selasa, 22 Desember 2009

Cerpen : FAITH OF A FALLEN ANGEL

Aku terpaku membeku dalam keterkejutan yang amat sangat ketika menemukan malaikat tua nan anggun itu telah kehilangan seluruh ciri khasnya sebagai malaikat di dalam tidur abadinya. Kedua matanya yang telah menutup terlihat membengkak karena air matanya yang telah terkuras habis dituntut untuk keluar lebih banyak lagi. Sangat terlihat bahwa ia sudah lelah untuk menangis. Wajahnya juga terlihat begitu pucat, tidak lagi seindah cerah mentari pagi yang dulu pernah menyinariku sepanjang hari di dalam surga ini. Malaikat itu telah terjatuh ke dalam godaan dosa, ia sekarang tidaklah lebih dari manusia biasa yang beristirahat di depanku ketika ia sudah memutuskan untuk menyudahi takdirnya dalam pelukan air yang merah bercampurkan darahnya yang ditumpahkannya sendiri sebagai tanda bahwa ia telah memutuskan untuk berhenti berjuang. Selama ini, di dalam perjuangannya ia telah berusaha untuk menggunakan seluruh kesabarannya hingga kesabarannya terbagi dua. Setengahnya tetap berjuang tapi setengahnya lagi berkhianat menjadi ketidaksabaran, lawan dari kesabaran itu sendiri di saat bersamaan.

Seharusnya tak boleh ada dualisme di dalam surgaku. Surga adalah tempat kebaikan, kedamaian, kebahagiaan dan seluruh hal positif lainnya berkumpul. Tidak boleh ada hal negatif yang muncul bersamaan hal positif di dalamnya. Karena jika itu terjadi, maka tempat yang ku pijak ini bukanlah surga lagi melainkan dunia fisik yang penuh kondisi dan penderitaan.

Sisa keyakinanku yang berusaha melihat surga di dunia langsung runtuh dan lenyap bagai asap seketika itu juga. Padahal selama ini aku yakin surgaku bisa bertahan selamanya. Namun sayap - sayapku yang telah menghilang semakin menandakan bahwa aku tak lagi berada di surga. Dulu, ayahku adalah pimpinan malaikat tertinggi yang begitu menyayangi ibuku, kakaku dan aku serta melindungi kami dari dunia yang kejam di sekitar kami. Dia bisa tetap mencegah masuknya pengaruh dunia ke dalam surga kami agar kami tidak menderita. Kami semua sangat nyaman berada di keluarga ini, surga ini, begitu percaya akan perlindungan ayahku yang membangun kebahagiaan itu dan mempertahankannya.

Tapi suatu hari setan masuk ke dalam hatinya, ia membiarkan dirinya terjatuh ke dalam dosa, terikat dengan begitu nikmat hingga nyaman dengan perubahannya menjadi ular yang memiliki lidah bercabang dua. Kakakku telah melihat pertandanya sebelum kami menyadari hatinya mendua. Sebelum kepergiannya ke luar negeri, dia berpesan dengan tegas untuk mempertahankan keberadaan surga kami tapi rupanya kepergiannya adalah sebuah pertanda akan kejatuhan ayahku yang akhirnya meruntuhkan surga yang dibangunnya sendiri bersama kami.

Isak tangisan ibuku yang setiap malam ditinggal sendirian olehnya selalu memilukan hatiku. Aku tahu, ia pastilah malaikat pertama yang menyusul ayahku terjatuh dari surga ini, bukan hanya karena kesetiaan cintanya tapi juga kesedihannya. Saat itu, ibuku masih berusaha untuk tegar bertahan setelah terjatuh karena aku masih bisa melihatnya menyunggingkan senyumannya di hadapanku, berusaha untuk terlihat menegarkanku namun di saat yang bersamaan, ia sendiri sedang berusaha menegarkan dirinya dengan senyumannya. Tapi akhirnya lubang hitam di hatinya berhasil juga menghisap habis – habisan seluruh hal positif yang masih tersisa dalam dirinya meskipun ibuku sudah berusaha keras mempertahankannya.

Lima bulan sudah aku berkabung, tapi kesedihan itu tak pernah sedikitpun berkurang menyerangku. Aku tahu, tak seharusnya aku terus terlarut dalam kesedihan seperti ini, tapi siapa juga yang dapat bertahan dari kejatuhanku ini? Aku terjatuh, kehilangan keyakinanku hingga merasa tak pernah bisa bangkit lagi dalam keadaan yang sama. Aku tak pernah bisa merelakan kepergian ibuku yang tragis. Aku tak pernah bisa menerima fakta bahwa dunia yang dulu ku anggap surgaku sekarang telah hilang ditelan kepahitan karena aku terjatuh ke dalam dosa.

Dosa akhirnya mengisi posisi yang telah ditinggalkan kebahagiaan di dalam hatiku. Akibat dari terisinya posisi kosong itu oleh dosa, sebuah perubahan terjadi dalam diriku. Daya tarik dosa lebih kuat daripada medan magnet raksasa yang menyelimuti permukaan bumi. Ia membuat semua orang tertarik untuk mencicipinya hingga berulang kali dan pada akhirnya dosa mengikat mereka, membuat mereka merasa membutuhkannya di dalam perubahan diri mereka.

Aku tahu bagaimana rasanya. Karena aku juga telah terjatuh ke dalam kubangan dosa.
Keyakinanku akan dunia yang selama ini ku anggap sebagai surga telah terhalangi kabut dosa. Dualisme yang ku ketahui ada di dalam diri ibuku itu eksis karena dia telah terjatuh ke dalam penderitaan dunia fisik dan sekarang aku juga bisa merasakan sakitnya itu sangat membebani hatiku. Sehingga hatiku sendiri pergi tanpa permisi sejak aku menyadari kenyataan yang ada lebih kejam daripada yang selama ini ku bayangkan di dalam kepolosanku. Sebuah hati nurani untuk kesadaran akan kenyataan. Sungguh, hal itu adalah pertukaran yang tidak adil. Ketidakadilan itu akhirnya semakin melemahkan keyakinanku akan eksistensi surga di dunia.

Aku sudah berusaha untuk menekan kebencian agar kebahagiaanku sebagai seorang malaikat tetap bertahan. Aku tak mau ikut terseret ke dalam dosa dan ditarik jatuh oleh ayahku dari surgaku. Tapi keinginan itu terasa mustahil ketika ku melihat kenyataan. Bahkan sejak aku mengetahui perihal menduanya ayahku, aku telah dikuatkan kebencian. Sekarang, kebencian itu yang semakin kuat. Setiap detik saat ku melihat tubuh ibuku telah terbujur kaku dalam istirahatnya yang dengan tidak tenangnya ia tentukan itu, memiliki begitu banyak kebencian untuk diberikan kepadaku. Perlahan tapi pasti, aku juga mulai belajar untuk membenci penyebab kejatuhanku, awal semua penderitaanku dan membiarkan kebencian itu berkembang karena aku berpikir bahwa aku akan bisa melindungi diriku apabila aku melapisi diriku dengan kebencian, tidak seperti ibuku yang telah melakukan kesalahan dengan memulai cintanya kepada ayahku yang tak sepantasnya dicintai, berharap bisa mencapai surga bersamanya namun malah terjatuh bersamanya. Aku tak mau terluka seperti ibuku, jadi aku tak akan melakukan kesalahannya.

Pria. Cowok. Laki – laki atau apapun sebutan makhluk itu, aku membencinya.

Aku tak akan pernah memulai sebuah hubungan apapun juga kepada makhluk itu.

Tanganku mengepal. Leherku menegang. Bibirku terlipat ke dalam. Selalu ada sebuah perjuangan berat untuk menahan tetesan air mata ketika saat – saat aku menyaksikan kematian tragis ibuku kembali menyeruak dari alam bawah sadarku. Bayangan tragis itu tidak hanya membuatku semakin sedih tapi juga menyadarkanku akan keadaan tergetir yang sedang ku alami hingga memaksaku untuk memilih kebencian sebagai cara untuk bertahan hidup.

“Kenapa kau begitu keras kepada dirimu sendiri?“

Ray, teman sekelas yang duduk di sebelahku, melontarkan pertanyaan seperti itu kepadaku. Aku tak menoleh. Aku tak berminat untuk menjawab pertanyaannya. Bukan hanya karena ia cowok, tapi juga karena pertanyaannya telah mencampuri urusan pribadiku.

Bagaimanapun juga, dia tak pernah merasakan apa yang aku alami, begitu pikirku.

“Aku tahu bagaimana rasanya memiliki sebuah keluarga yang hancur berantakan, Faith.”

Kepalaku secara refleks berputar ke arahnya. Alisku bertaut bersamaan dengan mataku yang terpicingkan tajam kepadanya. Bagaimana caranya dia bisa tahu aku memiliki masalah dengan keluargaku? Selama ini, setahuku, selain teman – temanku, tak ada siswa yang tahu perihal masalah dalam keluargaku. Mereka hanya tahu bahwa aku sedang berkabung karena meninggalnya ibuku. Mereka bahkan tidak tahu siapa nama ibuku yang meninggal itu.

“Darimana kau tahu…”

“Teman – temanmu juga memiliki kakak perempuan yang masih bersekolah di sini, Faith,” Ray menyela, hanya sekedar memberikan sebuah petunjuk yang sangat jelas bagiku.

Aku tahu yang dimaksudnya pasti kakak Eva yang berpredikat ratu gosip di sekolahku.

“Lalu apa maumu?” tanyaku dengan ketus, menatapnya dengan penuh kecurigaan.

“Aku tak ingin apa – apa darimu untuk diriku,” Ray menjawab sembari tersenyum manis hingga kedua lesung pipinya di wajahnya yang tirus terlihat nyata dan membuatku merasa dapat mengalihkan perhatianku dari seluruh kepedihanku untuk sesaat ke wajahnya yang sempurna.

“Tapi aku ingin satu hal darimu untukmu.”

“Apa maksudmu?” aku bingung dengan permainan kata – kata yang dimainkan oleh Ray.

“Aku ingin kau dengarkan pengalamanku.”

Saat berikutnya, aku hanya terdiam, mendengarkan pengalaman Ray yang ia bilang selalu ia tutup dengan gurauannya di dalam maupun di luar kelas. Pengalamannya nyaris sama pahitnya dengan pengalamanku. Kedua orang tuanya selalu mengutamakan kepentingan mereka. Setiap kali ibunya pulang setelah belanja di luar negeri pasti bertengkar dengan ayahnya yang sibuk bekerja. Keduanya menelantarkan anak – anaknya tanpa sedikit perhatian dan kasih sayang. Ray dan kedua kakaknya tidak betah di rumah. Tak ada yang peduli akan Ray yang tersiksa karena beban di dalam batinnya atas tindak – tanduk keluarganya terus menghantui setiap langkahnya.

Rasa iba tiba – tiba menyelinap keluar dari himpitan kebencian dalam diriku. Ku tatap mata Ray yang ku kenal sebagai seorang badut. Seorang humoris yang memiliki banyak teman dan juga digila – gilai seisi cewek lainnya di sekolah. Ternyata, selama ini ia menjadi badut bukan untuk menghibur orang lain tapi untuk menghibur dirinya sendiri. Sekedar berlari sesaat dari kegetiran yang terus – menerus menemani hidupnya.

Dia sangat berbeda dengan ayahku sekalipun ia adalah seorang cowok.

Dia… dia justru sangat sama seperti ibuku.

Lemah di dalam dirinya namun berusaha untuk terlihat tetap kuat dan menguatkan orang lain padahal semuanya untuk menguatkan dirinya sendiri.

Aku terhenyak sesaat, menyadari bahwa ada sebuah kesempatan bagiku untuk menebus dosa. Aku bisa menyelamatkan diriku dari penderitaan ini dengan cara tidak lagi terikat kepada fokusku akan penyebab kejatuhanku yang sudah terjadi, sekarang adalah waktunya untuk memfokuskan pikiranku agar bisa menemukan cara kembali meraih surgaku, semuanya hanya bisa terjadi apabila aku menghapus kebencianku yang telah membuatku terjatuh dari surga kebahagiaanku. Perlahan – lahan aku akan menebus dosaku dengan melakukan hal yang selama ini bertentangan dengan kebencianku yaitu dengan berbuat baik kepadanya. Kepada cowok.

Aku yakin, dengan cara itu aku akan bisa memulai hidup baru di surga.

Kehadiran sebuah kesempatan untuk kembali berbahagia itulah yang mengembangkan senyumku untuk pertama kalinya setelah lima bulan terakhir selalu meratapi nasib. Detik itu juga adalah sebuah awal baru bagi sebuah keyakinan akan gambaran kebahagiaan yang membentang.

Waktu terasa begitu cepat berlalu dalam tiga bulan terakhir. Setiap saat kami bertemu ataupun sekedar berbicara semakin mendekatkan kami berdua. Perasaan senasib seperjuangan membuat kami tak segan – segan membuka diri lebih jauh satu sama lain. Aku harus akui bahwa aku telah jatuh cinta kepadanya. Kepada ketegarannya yang tetap ia tegakkan terutama di saat bersama orang lain. Kepada kesabarannya yang selalu ada untuk menghibur diriku yang terkadang terhanyut kembali ke dalam kesedihan saat mengingat kejadian – kejadian sedih di masa lampau. Dan yang tak kalah pentingnya adalah kepada ketampanannya yang terpancarkan dari luar dan dalam dirinya hingga begitu silau di hadapanku, membuatku terkadang bertanya – tanya apakah dia adalah seorang titisan mahadewa yang sengaja turun ke bumi hanya agar ia bisa mengembalikan hatiku yang hilang dan membimbingku kembali ke jalan menuju surga kebahagiaanku yang akan selalu ku rindukan.

Tapi, memang benar yang diucapkan semua orang, bahwa jalan ke surga tidaklah mudah. Apalagi untuk kembali lagi ke sana setelah terjatuh ke dalam lumuran dosa.

“Apa – apaan ini?“ suaraku berbisik nyaris tak terdengar di dalam kelas yang sudah sepi.

Jari – jemariku yang memegangi lembar demi lembar foto di hadapanku terasa bergetar begitu kencang. Sebuah ketidakyakinan menyeruak begitu cepat, perlahan – lahan menyusupi keyakinanku yang telah mati – matian ku perjuangkan kembali untuk bisa bangkit dari kematian.

Aku lupa bagaimana caranya bernafas. Aku lupa bagaimana caranya berpikir.

Seketika semuanya terasa begitu kosong dan menghantam ke dalam hati nuraniku. Kengerian, ketakutan, kesedihan, kebencian dan entah perasaan negatif apa lagi segera saling berdesakkan hendak memenuhi kekosongan itu. Tapi kesadaranku masih cukup kuat sehingga aku ingat kapan terakhir kali aku merasakan sensasi yang sama itu dan aku berusaha untuk menolak semua emosinya. Terakhir kali ku merasakannya, keyakinanku tergoyahkan dan tanpa peringatan lagi, aku sudah terjatuh ke dunia yang penuh kesengsaraan. Aku harus tetap berpegangan pada keyakinanku ini jika aku ingin kembali merasakan surgaku.

“Itu Ray. Cowok yang selalu kau bangga – banggakan itu,” Aya menjawab dengan ketus, ia dan Eva sejak awal memang tidak suka aku bergaul dengan Ray apalagi hingga berhubungan dekat seperti belakangan ini karena mereka sering mendengar kabar bahwa Ray adalah playboy. “Aku dapat semua foto itu dari hasil penguntitanku, Ivy dan Eva selama beberapa hari.”

“Kalian membuntutinya?” mataku melotot kaget dan marah, tidak menyangka bahwa teman – temanku bisa setidak sopan itu. “Apa kalian tidak tahu apa artinya privacy?”

“Apa kau tidak tahu apa artinya playboy?” Eva yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara dan sekali saja ia bicara, ucapannya bisa jadi sangat menyakitkan atau meyakinkan.

Aku melempar semua foto yang merekam peristiwa – peristiwa saat Ray sedang berdua dan bermesraan dengan cewek lain itu ke meja seolah semuanya tak berarti. Sembari melipat kedua tanganku, aku berusaha menegarkan keyakinanku. “Kalian bisa saja merekayasa foto ini.”

Eva dan Aya menggelengkan kepala mereka bersamaan mendengar apa yang ku ucapkan. Ivy hanya menundukkan kepalanya. Tak berani menatapku ataupun yang lain karena ia selalu tertekan suasana pertengkaran seperti ini. Matanya sesekali melirik kepadaku, mungkin juga karena ia ketakutan akan diomeli olehku sehingga ia terdiam saja di belakang Aya dan Eva.

“Otakmu yang telah direkayasa olehnya,” Eva balas menudingku dengan suara meninggi.

Sesaat keadaan menjadi sunyi. Hening di dalam atmosfer yang terasa begitu sesak.

“Aku heran kepada kalian…” suaraku akhirnya memecahkan kepada keheningan. “Bukankah kalian sendiri yang menasehatiku agar tidak membenci cowok karena ayahku? Tapi mengapa kalian sendiri yang menghalangi hubunganku dengan Ray saat aku sudah merasa bisa kembali bahagia seperti dulu saat bersama dengannya?”

“Justru karena Ray sama seperti ayahmu!“ teriak Aya sembari memukul meja.

“Tidak!” ketegasan terasa jelas di dalam teriakanku dan keyakinanku dengan tegas menolak apa yang telah ku lihat dan yang hendak mereka buktikan karena ia juga mau untuk bertahan dari serangan keduanya. “Kalian tidak mengenalnya. Ray jauh berbeda dari ayahku.”

“Apa kau ingin seperti ibumu, Faith?”

Kata – kata Eva menusuk keyakinanku dengan begitu tajam dan dalam. Bagaikan sebuah kilat, seluruh kenangan buruk yang pernah menghancurkan keyakinanku terlintas begitu cepat dalam benakku. Berusaha untuk kembali menghancurkan keyakinanku yang baru ini.

Aku memutuskan untuk pergi dari dalam kelas. Mencoba sekuat tenaga memeluk keyakinanku agar tidak lagi berguncang. Sayap – sayapku yang baru saja beregenerasi tidak boleh terluka lagi. Jika sepasang sayapku terluka dalam masa penyembuhan ini, maka sirnalah sudah harapanku untuk kembali ke surga. Karena itulah keyakinanku harus dikuatkan lagi.

Dan hanya ada satu orang yang bisa menguatkannya. Sang mahadewa. Ray.

Nafasku memburu di dalam lariku di lorong sekolah, aku tak pernah lelah seperti ini. Tapi aku tak peduli karena bagiku rasa lelah ini sepadan dengan peneguhan keyakinan yang akan ku terima dari Ray. Sedetik lagi, aku tiba di lapangan basket, tempat Ray bermain setiap hari.

Langkahku terhenti di ambang pintu. Kelopak mataku membesar, tak bisa mempercayai apa yang ku lihat di hadapanku dapat terjadi di jalan kembaliku menuju surga ini. Mulutku menganga begitu lebar menyaksikan semuanya sehingga mengizinkan ketidakyakinan untuk kembali bernafas dan memiliki alasan untuk memperkuat dirinya. Tapi keyakinanku tetap berjuang sekuat mungkin, berusaha untuk mempertahankan eksistensi jalan kembali ke surga itu.

Aku melihatnya. Kali ini secara langsung dengan menggunakan mata kepalaku sendiri.

Ray, mahadewaku, sedang memeluk cewek lain yang tidak ku kenal di tengah lapangan basket.

Sepasang mataku tanpa sadar mengalirkan tetesan air mata. Aku memberanikan diri untuk mendekatinya. Di setiap langkahku mendekat kepadanya, keyakinanku berperang begitu hebat dengan ketidakyakinanku. Dosa penyebabku terjatuh dari surga berhadapan dengan keinginanku untuk kembali ke surga. Kebencian kembali muncul dalam sebuah ledakan emosional dan menyebar ke seluruh aliran darahku tapi cinta yang sebelumnya telah berada di tempat yang hendak diisinya masih cukup kuat untuk berjuang. Cinta itu masih bisa eksis karena keinginanku untuk kembali ke surga masih berdiri dengan kuat. Hatiku sendiri meragu untuk tetap tinggal di dalam diriku setelah kembali atau kembali pergi saja meninggalkanku karena ia telah muak menjadi panggung pementasan drama kekacauan emosional yang begitu semrawut dan hanya mendapatkan bagian untuk diinjak – injak di dalam semua pementasan yang ada.

Tampaknya cewek itu menyadari kehadiranku. Ia segera berlari meninggalkan kami berdua di dalam keheningan yang ramai akan kekacauan pikiran.

“Apa kau masih mencintaiku, Ray?” bibirku terasa sangat berat untuk mengucapkan pertanyaan itu karena aku menyadari bahwa keyakinanku sendiri yang tergoyahkan dengan pertanyaanku itu, tapi aku sendiri tak tahu apa yang harus aku ucapkan lagi setelah sekian lama terdiam dan hanya menatapnya dari balik keburaman air mataku.

“A…aku…” di dalam mata Ray terdapat sebuah ketidaktegaan untuk menjawab.

Aku mengerti apa arti ketidaktegaannya, serta merta kepahitan yang dikeluarkan dari ketidaktegaannya menikamku dengan sangat cepat, sangat tepat dan sangat mendalam.

“Jangan…Please, jangan...” aku menggelengkan kepalaku, akhirnya aku sendiri yang menolak untuk mengetahui jawabannya, tak ingin mendengar kelanjutannya. Aku memeluknya, meletakkan kepalaku ke dadanya untuk mendengarkan jantungnya tetap berdetak menemani detak jantungku. Aku hendak meyakinkan diri bahwa mahadewaku masih berada di sampingku untuk menuntunku kembali ke surga sekalipun apa yang ku lihat bertentangan dengan keyakinanku. “Biarkan saja aku yakin kepadamu. Aku tak peduli seberapa bodohnya diriku. Aku hanya ingin bahagia…bersamamu…di dalam keyakinanku ini.”


-------------------------------------------------------------------------------------

Di dalam cerpen ini, saya hendak menyampaikan bahwa banyak di antara kita yang terlampau melekat kepada kebahagiaan yang telah kita dapatkan selama ini. Kita terlena di dalam nya sehingga ketika kita terjatuh, kita merasakan kesakitan yang sangat mendalam. Kita berusaha untuk mencari kebahagiaan itu lagi, mencoba untuk merasakan sebuah sensasi yang nyaris sama dan bisa menggantikan kebahagiaan itu, hanya untuk menyadari bahwa sesungguhnya kita telah menyiksa diri kita lebih jauh lagi akibat keinginan untuk mencari objek tersebut. Pencarian itulah yang menyebabkan kita menderita. Berhentilah mencarinya di luar diri anda, kemelekatan itulah yang menyiksa anda, sadarilah itu, relakan segala sesuatunya yang terjadi dan anda akan berbahagia.

Lebih jauh lagi, banyak di antara kita yang terkadang bahkan tidak ingin melihat kenyataan bahwa kebahagiaan itu sudah berakhir karena kita ingin tetap merasakannya. Kita memutuskan untuk mempercayainya : hal apa yang kita inginkan untuk dipercayai. Bahwa kebahagiaan itu masih ada sekalipun telah hilang dan menjebak diri kita dalam sebuah ilusi yang kita mulai sendiri. Tidakkah ini terlampau ironis? Mengapa kita tidak berusaha untuk melihat kenyataan yang ada? Mengapa kita harus menolak keadaan yang tak lagi bisa ditolak hingga kita menyiksa diri kita sendiri? Kita harus mulai bisa menyayangi diri kita sendiri sebelum bisa berbahagia dan itulah yang sesungguhnya harus kita lakukan terhadap apapun yang ada dan terjadi di sekitar kita. Menerimanya dengan sebuah kerelaan agar tetap bisa berpijak pada kenyataan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar