Selasa, 22 Desember 2009

Cerpen : MENGHADAPI KENYATAAN UNTUK MENJADI NYATA

“We’re supposed to try and be real. And I feel alone, and we’re not together. And that is real” (Understanding - Wash It All Away by Evanescence)

Hai, namaku Austin. Salam kenal yah…May I know what your real name is?

Dunia tiba – tiba saja terasa berhenti berputar bagiku ketika ku melihat kata – kata itu tertampl dengan jelas di dalam layar mungil telepon genggamku. Ibu jariku begitu bernafsu hendak membalasnya tapi ia sendiri menjadi kaku dan tak berguna seketika.

Austin, lelaki yang keistimewaannya memancar dengan hebat bahkan saat aku hanya melihat foto albumnya saja di salah satu friend list Facebook ku. Foto close-up-nya menunjukkan bahwa dia adalah laki – laki yang mengalahkan kerupawanan semua malaikat di surga karena ia diberkahi mata biru seindah samudra yang menenggelamkan kesadaranku. Foto telanjang dadanya di pantai membentuk sebuah harmonisasi yang begitu indah antara kealamian manusia dengan roh alam. Dia sempurna di mataku, bahkan mungkin terlalu sempurna untuk ku harapkan. Aku sendiri tak tahu bagaimana caranya harapan itu terwujud, mengingat kesempurnaan biasanya menuntut kesempurnaan lainnya yang aku sadari tak pernah ku miliki. Tapi semua itu sudah terlanjur nyata sekarang dan aku tahu, harapanku yang telah terwujud tak boleh disia-siakan begitu saja.

Ibu jariku yang semula kaku tersengat saat ku menyadari bahwa kesempatan emas seperti ini tak kan pernah datang untuk kedua kalinya. Ibu jariku menggila, mengetik dengan kecepatan tinggi, membentuk rangkaian kata – kata untuk memperkenalkan diriku lebih jauh kepada Austin. Hai juga, kamu bisa panggil aku Ran. Kamu sudah lama tinggal di sini? Jarang sekali lho ada bule yang bisa tinggal di sini dalam jangka waktu lama.

Hari demi hari berlalu sejak hari itu. Percakapan demi percakapan melalui pesan singkat mengalir mulus di antara kami berdua setiap harinya. Diriku seringkali terkejut menemui banyaknya persamaan – persamaan yang terkuak di antara kami berdua. Dia sama – sama menyukai bacaan berbau ilmiah seperti diriku, dia juga merupakan seorang pencinta anjing sejati seperti diriku, dia bahkan juga menyukai semua serial Barat favoritku, dan yang paling manis di antara semuanya adalah di saat pertemuan pertama kami, ketika ia begitu terbuka kepadaku sehingga aku mengetahui bahwa dia juga berasal dari keluarga yang hancur berantakan, sesuatu yang dulu menyakitkan bagiku tapi sekarang malah menjadi persamaan yang begitu manis antaraku dengan dirinya.

Aku hanya bisa terlena di dalam bahagia menyadarinya, di setiap kali aku berpikir bahwa dia lahir untuk mengubah segala macam kepahitanku menjadi sejuta kemanisan. Ia selalu menghibur ketika aku sedih dan selalu membangkitkanku ketika aku terjatuh. Dia membuatku terasa lebih utuh daripada sebelumnya, seolah – olah kami tengah berusaha untuk melebur di dalam sebuah proses unik yang dapat menjungkirbalikkan semua kenegatifan menjadi kebahagiaan tersendiri.

Atau setidaknya, begitulah pikirku…

Sejak pemikiran itu ada dalam kepalaku, setiap kali ia mengirimkan sebuah pesan kepadaku, setiap saat itu juga aku berpikir bahwa ia tak bisa meninggalkan diriku. Perlahan – lahan aku merasa akan adanya sebuah magnet persamaan di antara kami berdua, sehingga aku semakin melebur dalam dirinya, sebagaimana ia juga semakin melebur di dalam aku. Dimana dalam proses peleburan itu, ia membawaku ke dalam alam impian yang selama ini ku cari. Seringkali ku bayangkan sosoknya tengah memelukku dari belakang untuk memastikan di dalam hatiku bahwa peleburan itu memiliki kemungkinan yang sangat tinggi untuk berhasil dan kami berdua tak kan pernah dapat terpisahkan lagi.

Harapanku itu semakin mengikatku ketika Kamis malam ia mengirimkan sebuah pesan. How are you tonight? Sedang apa?

Aku berpikir sejenak, tak biasanya Austin mengirimkan pesan saat Kamis malam seperti ini. Biasanya dia berkutat dengan pekerjaannya di rumah hingga aku terkadang merasa ada sebuah penundaan di dalam peleburan, sebuah jeda pahit dalam proses yang manis. Pasti ada sesuatu yang terjadi sehingga bisa terjadi pengecualian yang mewah ini. Firasatku mengatakan bahwa akan ada sebuah kejutan. Sebuah kejutan manis dari harapan yang terwujud secara tak terduga lagi. Sebuah ketiadaan jeda yang baru saja dimulai untuk sebuah kelengkapan peleburan.

Aku mulai mengetik pesan jawabannya, Baik – baik saja , aku berpikir sesaat, percikan harapanku yang semakin membesar memberikanku keberanian untuk mengetik lebih jauh lagi, Tumben, sempat - sempatnya SMS aku, biasanya aku diacuhkan. Kangen yah? Aku tersenyum saat membacanya dan segera mengirimkannya dengan begitu percaya diri, tak tersempat berpikir untuk berharap karena aku berpikir bahwa harapanku kali ini bisa terwujud seperti yang pertama kalinya, terwujud dengan begitu saja tanpa harus banyak berusaha ataupun berdoa.

Saat telepon genggamku kembali bergetar menandakan adanya pesan masuk, tanganku segera meraihnya secepatnya. Aku sangat terkejut melihat jawaban pesannya di layar mungil itu. Tak menyangka kata – kata yang begitu kecil bisa memiliki kekuatan yang begitu besar.
Bisa saja…Malam ini aku hendak mengajakmu keluar. Dinner. Kamu mau?

Dengan semangat yang terpacu, aku menjawabnya dan mempersiapkan diriku. Berpenampilan sebaik mungkin untuk pasangan terbaik yang pernah ku miliki. Untuk seorang yang sulit dipercaya kehadirannya pernah ada di dalam eksistensi dunia fisik. Semangatku begitu menggebu, sebesar semangat rembulan yang menantikan cahaya mentari agar bisa bersinar. Karena dia lah sumber cahayaku yang mengubah kegelapan menjadi terang bagiku.

Dia menyambutku dengan sebuah senyuman diiringi jabatan tangan dan pelukan hangat di tengah ruangan restoran mewah itu. Seluruh kemewahan restoran itu terasa begitu bersatu dengannya yang memang terlampau istimewa untuk dimiliki. Tampaknya Austin memang terlahir sebagai pembawa harmonisasi antara manusia dengan dunia yang selalu bisa menyatu dimanapun juga dalam suasana apapun juga. Dan aku sebagai manusia biasa hanya bisa menatapnya dengan kagum tanpa sanggup menahan rasa ingin memilikinya.

“Apa?” tanyanya dengan nada kebingungan, rupanya ia menyadari tatapanku tak terlepas darinya sejak tadi. ”Ada yang salah dengan penampilanku?”

“Ah, tidak…” aku segera menggelengkan kepalaku, menepis keterlenaanku akan dirinya. Aku tetap harus terlihat memiliki harga diri di depannya dan hal itu tentunya tak akan ku dapatkan jika aku kepergok terus sedang menatapinya. Sekalipun demikian, tetap saja aku tak bisa berbohong. “Satu – satunya kesalahanmu adalah karena tampil begitu sempurna malam ini.”

Austin tersenyum lebar mendengar pujianku hingga deretan giginya yang rapi terlihat.

Belum lama kami mencoba untuk mulai melanjutkan dan mempertegas proses peleburan di antara kami berdua melalui kata - kata, sebuah jeda akhirnya datang. Austin segera beranjak dari kursinya dengan mata yang berbinar – binar di tengah percakapan. Ia menghampiri sebab dari jeda di antara kami. Mataku mengikuti kemana ia melangkah. Begitu penasaran karena ingin tahu jeda macam apa yang bisa menyebabkan matanya berbinar dengan kilauan familier yang ku lupa pernah lihat dimana dan kapan. Familier tapi juga terasa berbeda di saat yang bersamaan.

Saat itulah, aku melihatnya, seorang wanita yang begitu cantik dengan kulitnya yang coklat eksotik dikecup oleh Austin. ”I’m sorry I’m late, honey. You know, my boss…”

Siapa dia? Siapa wanita itu? Apakah dia sebuah jeda untukku?

Aku terpaku, membeku di dalam kebingungan, bertanya begitu banyak pertanyaan hingga aku sendiri bertanya bagaimana kekacauan yang begitu besar bisa berada di dalam tubuh kecilku.

Jeda? Apakah memang benar ada jeda? Apakah memang ada sesuatu untuk dijeda?

“Jadi kamu yang namanya Ran?” tanya wanita itu dengan penuh keceriaan dan senyuman yang tulus, begitu hangat dan tak mungkin untuk tidak dibalas.

“I - iya, aku Ran…” jawabku sembari mengulurkan tanganku yang sedingin es.

Dia menyambut tanganku dan memperkenalkan dirinya. ”Aku Ruth. Kamu sering sekali disebut oleh Austin setiap kali kita kencan. Aku kagum dengan pemikiran kamu yang mendalam mengenai sains. Kamu sekolah dimana?”

Ruth banyak bertanya mengenai diriku yang bahkan aku tak tahu ada dimana saat ia mengajakku bicara. Pikiranku mengelana, mencoba untuk menerima eksistensi sosok wanita yang tak pernah ku duga bisa ada sebelumnya, sosok yang telah menghancurkan semua ilusi yang mengurungku, menarikku ke kenyataan yang tak ku ketahui. Sangat pahit untuk pura - pura tersenyum melihat kebahagiaan mereka karena aku sadar bahwa peleburan yang selama ini ku bayangkan bukanlah untukku, melainkan untuk mereka.

Ilusiku yang mengurungku selama ini tidaklah fana sepenuhnya, Austin tetap terlibat dalam peleburan itu, tapi justru itulah yang menyebabkan hatiku mengangga begitu lebar, meneriakkan sakit yang mendalam dari lukanya. Kesadaran bahwa ilusi mengenai kebahagiaan yang ku rangkai sendiri ternyata malah berlaku untuk orang lain di dalam realita hanya memperparah lukaku. Bukan hanya karena Austin yang menjadi peran utama, tapi karena aku mencintainya dan tak bisa memilikinya. Karena AKU mencintainya dan TAK BISA MEMILIKINYA. Seharusnya sejak awal aku menerima saja kenyataannya, bahwa memang sebuah kesalahan untuk mencintainya. Sebuah kemustahilan untuk seorang manusia mencintai malaikat. Sebuah kekhilafan untuk diriku berharap dapat saling mencintai dengan dirinya.

Sepulangnya dari makan malam yang tak ku harapkan hasilnya itu, bayangan akan Austin sedang berbahagia bersama Ruth tetap bertahan dalam benakku. Kemesraan mereka masih terasa memedihkan di luka relung hatiku. Sebuah keinginan untuk mengisi hatinya semakin melubangi hatiku, bagaikan mimpi buruk yang menyebabkanku terjaga sepanjang malam membentang. Aku mau berjuang mati - matian untuk keluar dari semua itu dengan cara mengubahnya menjadi sebuah mimpi indah sedangkan di saat bersamaan diriku berusaha menerima mimpi buruk itu, berharap dengan cara itulah mimpi buruk itu bisa bersahabat dengan diriku dan tidak menganggu diriku lagi. Hatiku sendiri tersiksa di dalam gejolak antara diriku ataupun aku. Austin, sekarang telah menjadi racun karena kemanisannya. Hatiku cuma bisa menangisi keadaannya, ia sadar bahwa ia telah memulai sebuah pengharapan penyulut pertarungan antara aku dengan diriku yang menyakiti dirinya sendiri. Hatiku yang menjadi tempat pertarungan antara diriku dan aku tak kuat menahan semuanya. Mataku terasa panas karena terluka saat adanya pembelahan antara diriku dan aku, bibirku bergetar menahan guncangan kenyataan yang menyebabkan keduanya saling bertarung dan dadaku terhimpit sesak di antara keduanya. Sebuah kejatuhan air mata yang tak tertampung lagi di kelopak mataku mengisyaratkan bahwa korban paling pasti di dalam perang yang baru saja berkecamuk ini adalah hatiku sendiri.

Hari – hari berikutnya, Austin mengirimkan lebih banyak pesan lagi kepadaku mengenai Ruth, Ruth dan Ruth. Ruth telah menjadi sebuah kemonotonan yang merusakku hidup - hidup. Entahlah mengapa begitu banyak yang bisa ia ceritakan mengenai wanita itu.. Seolah – olah Ruth adalah ruang ketiada-batasan sedangkan aku adalah lubang kecil yang telah sesak diisi dengan semua kekagumannya akan setiap detail wanita itu yang bisa dirangkum dalam satu kata yang sekarang menyakitkan bagiku : CINTA.

Austin seringkali mengajakku pergi keluar bersama Ruth. Dapat dipastikan bahwa diriku tak kuasa menolak ajakannya, diriku hendak berusaha untuk melihat keduanya berjalan berbahagia bersama sekalipun menyebabkan hatiku terluka karena hatiku tak akan bisa cukup tenang untuk menyembuhkan dirinya dan di saat yang bersamaan aku juga harus bersembunyi di dalam kegelapan agar keduanya tidak mengetahui apa yang sebenarnya aku inginkan. Semua kekacauan antara aku, diriku dan hatiku menyebabkan aku bertanya – tanya yang manakah yang merupakan “aku” sejati, “aku” yang nyata dan yang harus ku ikuti. Aku kehilangan identitasku hingga terkadang aku bertanya apakah aku memang pernah memilikinya.

“Sepertinya kamu agak bermasalah yah belakangan ini.” Ruth akhirnya menegurku setelah sekian lama memandangi wajahku yang terus ku arahkan ke es krim yang sedang ku makan perlahan – lahan, tak sanggup untuk melihatnya duduk sedekat itu dengan Austin karena aku sangat menginginkan posisi itu namun menyadari keterbatasanku untuk meraihnya. “Apa ada yang hendak kamu ceritakan, Ran?”

“Iya, Ran.” Austin menimpali, aku sempat melirik wajahnya yang terlihat khawatir hingga akhirnya aku menyesalinya karena hal itu hanya membuat perang dalam diriku semakin mengamuk. ”Apa kamu punya masalah? Aku perhatikan sikapmu berbeda belakangan ini.”

Jelas saja ada! KAU dan pacar sialanmu itu masalahnya! makiku dalam hati.

Aku hanya menjawab sembari tersenyum kecut, berusaha untuk memudarkan semua anggapan mereka yang ku tak ingin mereka ketahui benar adanya mengenai diriku. “Kalian seperti tidak pernah ABG saja. Biasalah, masalah pencarian identitas diri.”

“Bilang saja kau sudah tak sabar lagi hendak memiliki KTP agar bisa ngebut di jalan dan menginjakkan kaki ke tempat dugem.” Austin berkelakar diiringi oleh tawa Ruth.

Keduanya tertawa bersamaku, tanpa menyadari adanya perbedaan di dalamnya. Keduanya menertawakan diriku tanpa sadar dan berpikir sedang menertawakan jawabanku sedangkan aku menertawakan diriku sendiri dengan sangat sadar. Dengan sangat sinis. Karena memang diriku sadar bahwa dirinya adalah pihak yang paling sulit untuk mewujudkan harapannya di dalam pertarungan ini.

Ironisnya, malah Ruth yang semakin mempertegasnya beberapa minggu kemudian.

“Sebenarnya ada yang hendak aku bicarakan denganmu sejak beberapa minggu lalu, Ran.” Ruth menatapku dengan mata coklatnya yang berhiaskan bulu mata nan tebal, terdapat sebuah keseriusan di dalam sana, sebuah ketegangan yang tak biasa ku lihat di dalam kesehariannya yang ceria. “Hanya saja aku agak ragu untuk mengatakannya karena hal ini lebih mengenai Austin dan tidak mungkin juga aku mengatakannya di depan dirinya.”

Ruth menelponku, mengajakku untuk minum kopi di sore hari ini. Berdua tanpa Austin. Suatu hal yang tak biasa, mengingat aku bahkan tak menyimpan nomor telponnya sama sekali, tak pernah terlibat dalam percakapan pribadi dengannya melalui pesan ataupun percakapan suara dan tiba – tiba saja dia menelponku, mengajakku untuk bertemu tanpa ada Austin di sampingnya.

Ruth terlihat agak gelisah, dia menancapkan garpu ke donatnya berulangkali sejak tadi, sehingga donat itu nyaris tak terbentuk sekarang. “Ummm…Aku tak tahu apakah aku pantas membicarakan hal ini kepadamu atau tidak…”

”Katakan saja, Ruth. Aku sudah menganggapmu sebagai kakak perempuanku sendiri.” Jelas sudah, rasa penasaran yang mendorongku untuk bisa datang dan duduk di sini, berhadapan dengannya, salah satu orang yang diam – diam ku benci, semakin menunjukkan kemunafikanku, karena dorongan rasa ingin tahu itu memang terlampau kuat untuk diabaikan.

“Selama ini aku selalu memperhatikan ekspresi Austin kepada dirimu.” Ruth akhirnya mulai perlahan – lahan mengungkapkan apa isi hatinya sementara aku sudah tidak sabar lagi menunggunya mengungkapkan semuanya, tapi ia mengucapkannya dengan sangat hati – hati, berbisik seolah – olah ia hendak membicarakan dosa orang lain. “Tampaknya ada yang aneh.”

Alisku langsung bertaut bersamaan dengan berkerutnya dahiku. “A – aneh maksudnya?”

“Sepertinya dia…” Ruth memalingkan wajahnya sebentar, mengigit bibir bagian bawahnya sebelum akhirnya kembali menatapku dengan kekuatan yang ia usahakan sebisa mungkin.”…mencintaimu.”

Aku tertawa terbahak – bahak. Begitu keras hingga menarik perhatian semua orang kepadaku. Aku sendiri kaget mengapa aku bisa tertawa sehebat itu ketika mendengarnya. Entah karena aku merasa terlampau aneh untuk menjadi nyata atau karena aku merasa bahwa akulah pemenang dari semua ini. Pada dasarnya, keduanya sama saja memihak kepada kemenangan aku. Walau demikian, diriku tetap bertahan, berusaha menyerangnya dengan menggunakan ketidakpercayaan akan terwujudnya harapan begitu saja seperti saat pertama kali aku mengenalnya, berharap setidaknya ia bisa kalah dengan terhormat setelah melukai sang aku.

“Kau pasti sudah gila. Itu mustahil, Ruth!”

“Tidak, aku tidak mengada – ada…” Raut wajah Ruth terlihat sangat yakin dengan ucapannya dan entah mengapa, seolah ia juga terlihat hendak meyakinkan diriku. “Kau tak pernah tahu masa lalu Austin, Ran. Aku…me - merasakannya…ada yang berbeda di saat dia melihatmu…”

“Ini tidak lucu!” jelas bukan aku yang berseru untuk menyela ucapannya, tapi diriku.

“Memang tidak. Kau pikir aku tidak malu?” Ruth langsung mencecarku, menceritakan semua pengalaman masa lalu Austin yang tak pernah ku sangka, lagi – lagi, terlalu mustahil untuk menjadi ada. Ruth bahkan juga berusaha meyakinkan betapa seringnya Austin menceritakan diriku dan membayangkan diriku daripada dirinya saat keduanya bersama.

“Tapi dia mencintaimu, Ruth…Aku bisa melihatnya sejak pertama kali kita bertemu.”

“Iya, memang benar, dia mencintaiku…” Ruth menelan ludahnya sendiri di kerongkongannya sebelum melanjutkan kalimatnya. “…tapi dia jauh lebih mencintaimu.”

Saat itulah aku tersentak, membeku dalam keterkejutanku. Aku meraba – raba dengan buta di balik timbunan memoriku, berusaha merangkai hal – hal yang pernah terjadi untuk menemukan kenyataan yang bisa mendukungku. Aku teringat oleh kilauan matanya yang aku pernah lihat sebelumnya tapi juga terasa berbeda. Ketika Austin beranjak dari kursinya dengan mata yang berbinar – binar saat ia menghampiri Ruth di restoran malam itu. Saat pertemuan pertama kami, aku selalu mencuri – curi kesempatan untuk memandangi wajahnya dengan lebih lama dan bisa merasakan kilauan di mata birunya yang begitu menghanyutkan diriku. Matanya memancarkan kilauan yang sama kepada Ruth saat itu, tapi tidak seindah yang pernah aku lihat saat ia menatapku. Itu…itulah mengapa aku merasakan kilauannya familier tapi terasa berbeda.

Itu karena dia juga mencintaiku namun tidak sebesar cintanya kepada Ruth!

“Tapi kau tahu, Ruth. Aku tidak seperti itu…Aku tak mungkin mencintainya…” sebuah kebohongan terlontar dari dalam diriku, masih berusaha berharap keduanya dapat bersama demi kebahagiaan Austin yang lebih hakiki karena mencintai seorang wanita yang sempurna.

“Tidak apa – apa. Yang penting aku sudah mengucapkan semuanya.” ucap Ruth sembari menghembuskan nafas lega. “Aku tidak lagi dihantui sebuah kewajiban untuk mengatakannya kepadamu. Setidaknya, sekarang kita bisa membiarkannya memilih antara kau dan aku…”

Aku tertawa sinis sembari menaikkan sudut kanan bibirku. “Yang benar saja.”

Aku meneguk kopi hangat di depanku dan segera berpamitan kepada Ruth dengan wajah pura – pura kesalku, baru saja aku melangkah menjauhinya, Ruth berteriak,”Kau juga harus jujur kepada dirimu sendiri! Hal itu bukan hanya baik untukmu, tapi juga untuknya!”

Jantungku berhenti berdetak. Aku takut dia berhasil membuka topengku selama ini sehingga aku segera mempercepat langkahku yang sempat terhenti karena ucapannya, berlagak seolah - olah perkataannya tak berpengaruh sama sekali kepadaku. Padahal aku, diriku dan hatiku, bahkan tak bisa dibedakan lagi saat itu juga. Senang, bahagia, sedih, merasa bersalah, menang sekaligus kalah di saat bersamaan. Semuanya bercampur aduk hingga aku sendiri tak bisa membedakan emosi mana saja yang telah bercampur. Ruth telah mengacaukanku. Dia benar, tampaknya dia lebih mengenali siapa aku daripada aku sendiri. Butuh waktu beberapa lama untuk merenungi ucapannya, sehingga aku menyadari apa yang seharusnya ku lakukan.

Sudah beberapa bulan ini aku tidak membalas setiap pesan yang dikirim dari Austin. Diriku juga tidak mengangkat telponnya untuk mengucapkan selamat berbahagia bersama Ruth. Hatiku sendiri tak bisa melupakannya, tapi juga tak lagi menginginkannya. Ketiganya sekarang kembali menjadi satu kesatuan yang utuh. Ketiganya memiliki tujuan yang sama sekarang, melanjutkan hidup tanpa Austin demi kebaikan Austin sendiri. Aku yakin, itulah cara yang terbaik yang bisa ku berikan demi dirinya. Sekalipun sebenarnya, sangat besar keinginanku tuk mengatakan bahwa aku hanya ingin melihat dia kembali melanjutkan hidupnya tanpa diriku, tapi aku takut, jika aku kembali berbicara dengannya ataupun membalas pesannya, maka aku akan mengulang kesalahan manis yang sama lagi sehingga aku, diriku, dan hatiku akan terancam kembali terpisah dan hal itu tentunya akan kembali menganggu ketenanganku yang sudah ku nikmati lagi belakangan ini. Karena itulah, aku memutuskan untuk menghindari godaan – godaan itu dengan tidak menjawab pesannya sama sekali dan tidak mengangkat telponnya sama sekali.

Tapi Austin pada akhirnya berhasil mengirimkan sebuah pesan yang jauh lebih menggoda keputusanku yang telah ku buat, hingga aku tak tahu harus berdiri dimana lagi. Nafasku tercekat ketika membacanya, bersiap - siap menerima kemungkinan yang terburuk, jikalau saja proses pembelahan antara aku, diriku, dan hatiku terjadi lagi setelah membacanya.

Aku sudah putus dengan Ruth. Dia bilang bahwa kami berdua harus jujur pada diri kami masing – masing, menerima kenyataan yang ada. Dia telah jujur dengan mengatakan bahwa dia menyadari kebahagiaanku yang terbesar bukanlah bersama dengannya dan dia tak akan mampu mengubahnya. Aku sangat menghargai keputusannya karena itulah kenyataannya. Dia benar, sekarang adalah giliranku untuk jujur kepada diriku. Masa laluku bukanlah sebuah hal yang bisa dibanggakan kepada semua orang, tapi sayangnya aku pun juga tak akan bisa berpura – pura terus menyebutnya sebagai “masa lalu” kepada semua orang terdekatku. Aku tahu kamu sudah mengetahuinya dari Ruth. Aku harus jujur kepada diriku dan hal itu juga berarti aku harus jujur kepadamu. Mungkin hal ini akan menjadi terdengar menjijikkan bagimu, tapi inilah kenyataannya dan aku sungguh – sungguh mengucapkannya.

Aku berhenti membacanya. Masih ada satu kalimat lagi dan aku tahu kalimat terakhir akan menjadi godaan terdahsyat untukku. Sebuah pengujian berkedok kemanisan yang sangat mengundang untuk dicicipi. Aku berusaha untuk mengambil nafas setelah sekian lama lupa untuk melakukannya. Aku mendongakkan kepalaku sesaat, menatap langit – langit kelasku dan memejamkan mataku perlahan - lahan, berusaha untuk menenangkan pikiranku agar bisa membuat keputusan dalam waktu singkat. Apakah aku harus lanjut membacanya atau tidak.

Aku putuskan untuk melanjutkan. Apa kau mau menerimaku sebagai kekasihmu, Randy?

Mataku segera dilapisi air mata setelah membaca kalimat terakhir itu. Entah karena aku terharu membacanya akibat kebahagiaan yang telah lama dinanti bisa terwujud juga atau karena diriku merasa kalah saat merenungkan apa artinya atau karena hatiku kembali menangis setelah aku dan diriku kembali membelah dan kali ini telah ada pihak yang kalah.

Ibu jariku kaku sama seperti dulu pertama kali hendak membalas pesan darinya. Kali ini, ia bingung hendak menjawab apa karena godaan yang begitu kuat berhasil memisahkan kembali ketiga aspek kepribadianku. Akhirnya, ibu jariku memutuskan untuk melakukan hal yang tepat. Ia tak mau mengulangi kesalahannya dulu. Bekerjasama dengan semua jari – jariku yang lain, dia membongkar casing telpon genggamku, mencabut batereinya, mencabut kartu SIM dari slotnya dan menghancurkannya tepat di depan mataku. Sebuah kerjasama yang jenius dan sangat inspiratif untuk aku, diriku, dan hatiku sehingga ketiganya tak perlu berpisah terlalu lama lagi seperti dulu. Aku, diriku dan hatiku adalah hal yang tunggal, tak boleh ada yang mencerai-beraikannya lagi. Dan itu merupakan hal paling jujur yang pernah aku katakan kepada diriku karena memang itulah kenyataannya.

-------------------------------------------------------------------------------------

Pesan yang hendak saya sampaikan di dalam cerpen ini adalah :
- Terkadang apa yang kita inginkan dan kita anggap sebagai sumber kebahagiaan menjadi penyiksa kebahagiaan itu sendiri di saat kondisi kita sulit untuk menerima ketidakmungkinan kita untuk mendapatkannya dan dengan ego kita, kita meneruskan siksaan tersebut untuk terus ada dalam diri kita, membentuk sebuah pergulatan hati tersendiri

- Di saat aku, diriku, dan hatiku terpecah dan kembali menyatu, sesungguhnya saya hendak menunjukkan bahwa ketiganya sendiri tidak pernah ada dan hanyalah bentuk gejolak emosi serta beberapa fungsi mental lainnya yang bekerja bersamaan di dalam diri kita. Karena itu seharusnya kita tak boleh "mencerai beraikannya" dan membentuk sebuah "aku" yang berdasarkan kepada ego dan kesalahpahaman kita terhadap "diri" kita. Semakin kuat pandangan akan adanya "aku", semakin besar "ego" anda, semakin besar pula kemungkinan anda dapat melekat kepada hal - hal yang dianggap sumber kebahagiaan dan menderita

- Lebih menariknya lagi, terkadang kita harus bisa melepaskan hal yang kita anggap sebagai sumber kebahagiaan itu sendiri untuk bisa menyadari dan mempertahankan kebahagiaan kita (sebagaimana yang Ran lakukan). Karena sumber kebahagiaan bukanlah kebahagiaan yang hakiki. Tak pernah ada sumber kebahagiaan yang baik untuk manusia di dunia ini. Ego mencari sumber kebahagiaan, tapi kesadaran menyadari kebahagiaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar