Selasa, 22 Desember 2009

Komputer Terhebat di Dunia, di Dalam Kepala Kita

Di sebuah desa di Jawa Tengah bernama Kemusuk, puluhan warga desa malam ini tengah menggelar doa Yasinan mendoakan seseorang laki-laki yang sakit keras dan tengah tertidur dalam bius dengan jarak ratusan kilometer dari desa itu. Bahkan seminggu ini media massa pun dipenuhi dengan berita sakitnya laki-laki yang tergolek di sebuah ruangan bernomer 536 lantai 5 Rumah Sakit Pusat Pertamina ini. Seminggu ini ruangan itu tiba-tiba menjadi demikian populer dan menjadi pusat kilatan lampu kamera, sorongan corong mikropon dan dering ringtone telepon. Demikian besar tarikannya, sehingga menit demi menit berbagai macam jenis manusia datang ke RS ini, dan pemandangan di lantai 5 ini menjadi penuh dengan penjaga berseragam maupun berbusana batik.

Pada saat yang hampir bersamaan, pimpinan NU dan Muhammadiyah datang ke RSPP, dua organisasi Islam terbesar yang selama ini terkadang berbeda dalam membuat keputusan, berbeda dalam amalan do’a dan berbeda dalam beberapa pandangan ini, hari ini keduanya dipersamakan tujuan, datang menjenguk orang yang sakit itu.

Ada pula seorang bernama Bambang, dan seorang lagi bernama Halimah, keduanya pernah bertikai keras, saling labrak, bahkan dikabarkan salah satunya akan menuntut perceraian…, tiba-tiba pula datang di lokasi yang sama, di lantai 5 RSPP ini. Alasan yang sama pula yang telah menghadirkan seseorang bernama Tommy dan Tata ke ruangan nomer 536 ini. Setelah bertahun tak bertemu karena perselisihan rumah tanga, malam ini mereka berada di ruang yang sama dengan tujuan yang sama.

Seorang berwarna Wiranto dengan mengenakan baju batik berwarna coklat datang pula ke RSPP di hari Jum’at pukul 23.00, hanya terpaut lima menit kedatangannya, hadir pula seseorang bernama Prabowo mengenakan baju batik coklat pula. Kedua tokoh ini pernah berada dalam posisi yang berbeda diametral dalam sejarah Indonesia.

Beberapa hari sebelumnya, pada hari ketiga laki-laki ini masuk rumah sakit, ada seorang bernama AM Fatwa, ia ini pernah dihukum selama 18 tahun di jaman orang sakit itu masih berkuasa. AM Fatwa menurut detik.com pun saat menjenguk konon juga mencium dahi orang sakit itu, seraya katanya “Saya tidak punya dendam apa-apa, politik dan kemanusiaan harus dipisah…”. Bekas tokoh Petisi 50 Ali Sadikin, juga nampak hadir menjenguk bekas lawan politiknya yang tengah sakit ini.

Entah siapa lagi yang datang dan bersalaman setelah sekian lama saling menghindar, bercakap setelah lama saling tidak mengacuhkan, tersenyum setelah sekian lama memasang muka sangar, disebabkan oleh persitiwa masuknya laki-laki ini masuk ke RSPP. Jika ditulis nama semua orang yang datang di lantai 5 ini, mungkin memerlukan berhalaman kertas agar lengkap semuanya. Demikianlah, dunia terkadang memang aneh, dendam kesumat dan kebencian bisa dihapuskan dalam sehari oleh suatu peristiwa seperti di atas.

Emmmmmmmmmh…. sebentar … saya perlu menghirup nafas panjang agar rongga paru-paru saya bisa mendapat suplai oksigen, sehingga otak segar dan bisa berpikir jernih….

Tulisan ini bukan untuk membahas siapa laki-laki sakit ini, kenapa orang mau datang berbondong, atau bagaimana secara politis hal ini bisa terjadi? Tulisan ini juga bukan merupakan ajakan meng-ugemi wewaler bangsa Jawa yang berbunyi “Mikul duwur mendem jero“, atau himbauan moral untuk menghargai dan mengampuni dosa orang yang sudah pernah berjasa … bukan.. bukan itu tujuan tulisan ini. Tujuan itu sudah ada orang lain yang pasti akan melakukannya dengan senang hati dan bersemangat. Jadi biarlah saya menulis sesuai porsi saya saja, suatu tulisan yang berdasar rasa ketertarikan pada perubahan drastis emosi orang-orang disekitarnya sebagai akibat sakitnya laki-laki ini.

Bukankah luar biasa, bahwa suatu peristiwa bisa memicu perubahan iklim emosi dari kering kerontang menjadi kembali teduh dan subur berseri? Sebuah sikap bermusuhan yang sudah dipertahankan sedemikian lama, sudah menjatuhkan korban (harta, waktu, nama baik dll), kok menjadi sepertinya mudah sekali dilupakan dalam tempo yang sekejap mata. Bukankah ini menarik sekali? Bukankah luar biasa, ternyata otak kita memiliki kapabilitas untuk melakukan perubahan dengan cepat…, tidak perlu bertahun-tahun, hanya perlu waktu pendek saja kok.

Peristiwa yang diuraikan di atas, menunjukkan pada kondisi tertentu manusia memiliki kapabilitas melakukan kontrol dan intervensi pada kerja emosi di dalam dirinya. Dan itu terjadi dalam waktu yang relatif cepat, tidak menunggu bulanan atau tahunan.

Perubahan, haruskah lambat?

Sudah bukan rahasia, bahwa cukup banyak para ahli yang mendalami jiwa manusia masih banyak yang berpendapat bahwa perubahan itu tidak bisa cepat, harus evolutif sifatnya, harus berangsur-angsur dan seterusnya. Bahkan ada sebuah teori yang disebut sebagai desensitisasi, yakni proses berangsur untuk mengurangi suatu sensitivitas atas suatu stimulus. Misal agar ’sembuh’ dari penyakit yang disebut phobia, maka seorang klien akan diberikan stimulus secara berangsur, sehingga ketakutannya pada stimulus itu akan berangsur hilang… Pendapat ini juga diimbuhi dengan suatu pandangan bahwa suatu perubahan yang cepat biasanya tidak akan bertahan lama…

Pendapat di atas (mengenai perubahan yang harus bersifat evolutif), tidak demikian saja diterima oleh dua anak muda dari Santa Cruz California pada tahun 1970-an. Mereka melihat, bahwa suatu phobia atau trauma pada prinsipnya juga suatu perubahan emosi/mental yang terjadi sedemikian cepat. Bahkan sangat cepat, dan toh perubahan ini bisa bertahan begitu lama… Dalam pandangan mereka phobia bahkan trauma selalu terjadi dengan cepat, dan menimbulkan sutu perubahan revolutif, namun bertahan lama dan menetap dalam jiwa manusia.

Lantas mereka berdua -Richard Bandler dan John Grinder- bergerak cepat, untuk mencari jawaban, jika emosi/mental/jiwa manusia bisa berubah sedemikian cepat, berarti manusia memang memiliki kapabilitas untuk berubah dengan cepat. Pendapat yang mengatakan perubahan harus bersifat evolutif/berangsur, justru tidak ekologis dengan kenyataan ini. Jika perubahan dari kondisi normal biasa saja menjadi phobic/traumatic bisa terjadi sedemikian cepat dan permanen, seharusnya perubahan dari situasi phobic/traumatic juga bisa dilakukan dengan sedemikian cepat dengan hasil permanen pula… Lantas mereka mengembangkan pertanyaan untuk dijawab agar memancing jawaban:
• Bagaimana cara mereplikasinya, agar bisa diulang lagi kapanpun mau?
• Apa perbedaan yang membedakan antara orang yang bisa keluar dari situasi phobic/traumatic dan yang tidak bisa?
• Jika sudah kita temukan caranya, bagaimana hal ini bisa diaplikasikan ke situasi dan kondisi yang berbeda-beda.

Proses seperti ini rajin dilakukan oleh kedua orang ini, dibantu dengan puluhan orang yang bersimpati dengan proyek itu. Proses seperti ini kemudian dikenal sebagai proses modelling, semangat tinggi di awal mula lahirnya ilmu NLP. Banyak pembelajar NLP yang sampai hari ini belum mengerti bahwa ilmu NLP sebenarnya adalah ilmu modeling. NLP bukanlah ilmu terapi, bukan pula hipnotisme, bukan juga ilmu meniru gerak tubuh orang. Itu hanyalah hasil modelling atau teknik saja. NLP yang sesungguhnya adalah ilmu memodel, ilmu meniru keunggulan, agar bisa direplikasi kapanpun mau, sehingga sebuah keunggulan bukan datang tidak disengaja, namun dipicu kapanpun kita mau.

Saat ini, NLP sudah memiliki banyak sekali cara/teknik, banyak sekali pattern yang sudah dikembangkan oleh para developernya. Salah satu cara yang terkenal di dunia NLP adalah fast phobia cure, yakni suatu pattern yang bisa membantu pemulihan suatu kondisi phobia dalam tempo yang sangat cepat, hanya dalam hitungan menit saja. Menggunakan fast phobia cure, seorang praktisi NLP bisa membantu diri sendiri atau orang lain untuk keluar dari kondisi phobia dengan sangat cepat. Tanpa pengobatan, tanpa nasehat, hanya mengubah struktur pengalaman di dalam otaknya orang yang mengalami phobia itu saja.

Bagaimana caranya fast phobia cure itu?
1. Bayangkan duduk di bioskop, dengan layar putih di depan kita, layar masih kosong.
2. Kemudian bayangkan Anda berpindah dengan cara membayangkan melayang keluar dari tubuh Anda dan berpindah ke ruang penyorot film (yang ada di belakang penonton). Ini disebut proses disassosiasi.
3. Bayangkan ruangan itu aman, ada kaca tebal yang membatasi Anda dengan ruangan. Pegang kaca imajiner itu, rasakan telapak tangan Anda menyentuh kaca, dan katakan “Saya aman”. Jika perlu bayangkan di sebelah Anda ada orang lain yang bisa membuat Anda nyaman.
4. Jika bisa, picu pula rasa aman, dengan mengakses pengalaman saat Anda pernah merasa powerful, ampilfy dan lakukan anchor.
5. Dari balik kaca di ruang itu, lihat diri Anda yang duduk di bawah (di kursi penonton tadi), dan bayangkan Anda melihat ke layar melalui diri Anda yang ada di kursi bawah (double disassociated).
6. Lihat di layar bioskop sebuah gambar film, yang dimulai tepat sebelum peristiwa phobia itu terjadi. Jalankan film ini secara hitam putih dan kecepatan cukup cepat, sekedar untuk mendapatkan sensasi atas jalannya peristiwa itu, dan hentikan film sampai melampaui titik phobia itu. Saat berhenti adalah pada saat menemukan suatu gambaran di masa lalu dimana sudah merasa aman lagi setelah peristiwa phobia itu.
7. Pastikan selama menjalankan proses nomer 6 Anda/klien Anda merasa aman, dengan tetap mempertahankan kesadaran bahwa Anda ada di balik kaca tebal yang aman dan jauh dari peristiwa phobia itu.
8. Setelah film itu selesai, pertahankan gambaran akhir yang Anda sudah merasa aman itu. Kemudian bayangkan anda melayang keluar dari ruang sorot film, dan masuk kembali ke tubuh (Anda) yang duduk di kursi, bawa tubuh itu bersama Anda dan masuk ke dalam gambar akhir dalam film itu.
9. Begitu masuk kedalam gambar, sekarang ubah gambar film itu menjadi berwarna, dan secepat kilat diputar mundur film itu (rewind while play), sambil mulut Anda membunyikan seperti pita kaset yang diputar mundur tapi dalam kondisi play (suara seperti “weerwewrewrrwrrre rwewewewrwrwerw rweerwer”). Pertama kali lakukan dengan kecepatan 2 kali lebih cepat dengan kecepatan normal, kemudian ulang lagi dari akhir film menuju ke awal film dengan kecepatan 4 kali, lakukan lagi dalam kecepatan 8 kali dan akhirnya 16 kali. Semua sambil bersuara seperti kaset rewind cepat itu…
10. Selesai
Nah kegiatan diatas mungkin hanya memerlukan sekitar 30 menit saja, jika Anda berlatih sebaiknya lakukan untuk hal-hal ringan dulu sampai Anda menjadi lancar dan terbiasa. Baru dilakukan untuk hal-hal yang traumatic / phobia yang sebenarnya. Tentunya jauh lebih baik jika Anda dilatih secara langsung oleh orang yang sudah berpengalaman, atau Anda bisa memilih melalui pelatihan practitioner dulu.

Jika dibahas, sebenarnya pattern di atas merupakan kombinasi dari beberapa teknik NLP :
1. Double disassociation, atau meta-meta position.
2. Anchoring
3. Mengubah submodality scrambling dengan memutar mundur memori secara visual auditorial.

Itulah, suatu proses yang amat cepat dalam melakukan perubahan emosi/mental/jiwa dengan menggunakan pendekatan NLP. Pattern ini didasarkan pada suatu keyakinan bahwa jika dulu seseorang mendapatkan trauma/phobia dalam tempo singkat, tentunya mengubahnya kembali juga bisa singkat dong…

Proses di atas menunjukkan bahwa jika tahu caranya, maka kita akan lebih mudah mengarungi hidup ini, maka sering NLP disebut sebagai ilmu enabler, menjadikan sesuatu itu bisa dilakukan. Layaknya jika Anda membeli komputer, maka Anda memerlukan manualnya, agar seluruh kapasitas dan kapabilitas komputer itu bisa Anda pkai secara optimal.

Memang betul, otak kita jauh lebih hebat dari komputer, bahkan luar biasa. Kita hanya belum punya manualnya. Dan kabar baiknya adalah, ilmu NLP dikenal sebagai “User’s Manual For The Brain“. Di sini, sekarang menjadi mudah bagi Anda untuk memahami mengapa orang perlu ilmu NLP. Tentunya agar kapasitas dan kapabilitas komputer -yang bernama otak ini- bisa dioptimalkan dan tidak berjalan sesukanya sendiri….


source : rahasiaotak.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar