Selasa, 22 Desember 2009

Cerpen : UNCONDITIONAL LOVE

“FAITH!“

Teriakan itu terdengar begitu jelas di telingaku. Memanggilku dengan daya tarik magnet yang begitu besar kepadanya. Aku berlari tak mempedulikan setiap tetesan rintik hujan yang terasa menusuk bagaikan jarum di tubuhku, nafasku tersenggal – senggal, tapi aku sendiri terus berlari dengan keburaman di mataku yang terlapisi kaca air mata yang terasa tak retak sedikitpun juga walau tetesan air mata yang membentuknya telah meleleh dan berjatuhan bersama air hujan di pipiku. Aku menangis terharu, karena aku mengenali suara yang ku rindu itu kembali memanggil namaku. Aku ingin menggapainya secepat yang ku bisa walau aku terlampau sesak untuk berlari lagi. Aku tak ingin ia pergi lagi. Aku ingin dipeluk lagi oleh dirinya yang telah menungguku di ujung jalan sana.

“FAITH!“

Suara itu kembali menarikku ke depan. Sepasang kaki ini telah terasa lelah tapi aku terus berlari di jalanan yang gelap, seolah tiada bertepi. Aku sendiri tak tahu sampai kapan aku kuat untuk berlari. Aku ingin berhenti berlari. Karena ketika aku sudah berhenti berlari, berarti dia sudah di depanku. Itu pasti dan tak dapat terbantahkan lagi. Absolut bagiku untuk melakukannya.

Keinginanku terkabul dalam sekejap. Dia telah berada di hadapanku sekarang, aku sendiri tak percaya menyadari bahwa langkahku telah terhenti. Terengah – engah, aku tersenyum ke wajah yang ku rindukan untuk menatapku lagi. Aku bergerak mendekatinya, menjulurkan tanganku untuk menggapai wajah tampannya yang sedang tersenyum. Tapi entah mengapa, kakiku malah berhenti mendekat saat aku telah berhasil mendaratkan sentuhanku di wajahnya. Aku menyalahkan kedua kakiku, menunduk hendak memakinya hingga akhirnya aku sendiri terperanjat menyadari apa yang sesungguhnya menjadi masalah bagiku untuk mendekatinya.

Ternyata masalah sesungguhnya ada pada jantungku.

Jantungku telah ditusuk. Aku baru menyadarinya ketika rasa sakitnya baru terasa. Ketika ku kembali mendongakkan kepalaku walau tubuhku sedang bergemetar karena kedinginan yang menusuk, ku melihat Ray, sudah menghujamkan sebuah pisau yang tak terlihat ke dadaku. Aku merasakan hangatnya darah mengalir keluar dari dalam dadaku. Pisau itu telah menembus kulitku untuk menancap di jantungku yang berdetak. Sakitnya tak terdefinisikan oleh kata – kata yang juga tak akan bisa menjelaskan ketidakmampuanku untuk melihat pisau yang menusuk ke dalam dadaku.

Kepalaku berputar – putar karena kehabisan banyak darah yang begitu berharga. Mataku menatap ke depan, berusaha sebisa mungkin menangkap apa yang tersirat di dalam penglihatanku yang kabur karena kombinasi air hujan dengan air mata yang menggenang di pelupuk mataku berpadu dengan keburaman dari kesadaranku. Aku melihatnya di hadapanku, Ray menyunggingkan senyum kepadaku ketika ia menghunuskan pisau tak terlihat itu. Tiada rasa bersalah yang terlihat di ekspresi wajahnya, ia malah terlihat sangat menikmati saat - saat setelah menusukku.

Aku tak sempat membalas senyumannya. Aku hendak menunjukkan cintaku yang tak bersyarat kepadanya. Nafasku tercekat di tenggorokkan ketika mulutku menganga bersamaan dengan mata yang tiba – tiba membelakak. Tubuhku terangkat dari tempatku semula berbaring, aku meraba – raba dadaku yang melega beberapa detik kemudian, berusaha untuk memastikan dimana pisau itu berada sekarang, Apa aku sudah mencabut pisaunya? Dimana pisau itu?

Aku menengok ke sekelilingku. Bahkan dengan kalut aku meraba – raba di dalam gelap berusaha untuk mencari pisau itu di atas ranjangku. Tunggu dulu, ranjangku?
Saat kesadaranku kembali dari awang – awang itu terjadi setiap malamnya. Aku membenci setiap momen yang berada di detik – detik aku kembali sadar. Bahkan belakangan ini aku berharap bahwa aku tak pernah menyadarinya ketika aku terjaga. Biarkan saja aku merasa pisau tak terlihat itu masih di dadaku karena aku yakin itulah bukti aku masih mencintai Ray.

Sudah dua bulan berlalu sejak mimpi itu datang kepadaku tapi sensasi ketika terjaga itu masih terasa sama saja. Terlalu perih di mataku dan terlalu menghimpit di hatiku waktu menyadari bahwa kebahagiaanku ketika bisa merelakan nyawaku sendiri untuk Ray memiliki sebuah akhir yang terlampau cepat datangnya. Ray, pria yang selama ini ku cintai dengan sangat mendalam telah menyebabkan hatiku menganga terbuka karena terluka akibat perbuatannya. Seolah tak cukup dengan itu semua, ia juga menancapkan pisau ke jantungku di dalam mimpi. Ia telah meminta banyak pengorbanan dariku. Aku akui bahwa aku juga lelah karena energiku dikuras hingga hampir habis olehnya tapi aku tetap bahagia menyadari bahwa dia yang membutuhkan pengorbananku. Aku akan ikut berbahagia melihatnya berbahagia. Meskipun itu berarti melihatku dibunuh oleh tangannya sendiri di dalam mimpi yang menjadi begitu liar karena begitu banyak timbunan emosiku setelah dirinya mengkhianatiku, menyadarkanku bahwa aku tak bisa memilikinya secara fisik tapi hanya secara imajiner dalam memori dan mimpi.

Aku menekuk kedua lututku dan memeluknya dalam kepungan kegelapan kamarku. Di saat ku memeluk lututku, pikiranku dengan liar membayangkan bahwa lututku adalah diriku dan tubuhku adalah dirinya yang memelukku di saat aku menangis ketika semua orang menjulukiku sebagai seorang gadis dungu untuk mencintai dirinya ataupun di saat aku bahagia karena aku berhasil menjalin satu bulan tambahan lagi dalam hubungan kami seolah – olah bertambahnya sebulan umur hubungan kami adalah keajaiban. Ketika ku memeluk lututku, emosi membawakan kembali ketenangan yang menyelimuti diriku ketika berada dalam pelukan dirinya dan meletakkan telingaku di dadanya yang hangat hanya untuk memastikan bahwa jantungnya masih berdetak untuk menemani detak jantungku. Aku begitu nyaman di dalam tarikan memoriku tapi kenyamanan itu pulalah yang menjadi suara tembakan pertanda mulainya pacuan air mataku.

Semuanya selalu terjadi setelah kesadaran menarik kembali diriku ke satu malam lagi yang harus ku lalui. Aku tak pernah tahu berapa malam lagi yang harus ku lalui. Aku menatap keluar jendela dari balik keburaman air mataku. Hanya ada kegelapan malam tak berbintang yang terlihat di baliknya. Berapa lama lagi malam ini akan berakhir? Aku begitu membencinya karena aku bisa menyadari adanya kesendirian berangkaikan kenikmatan sekaligus siksaan ketika malam datang dan berpesta di atas penderitaanku dengan tanpa dosanya membawa bersama semua kenangan yang ada serta mengundang semua air mataku. Setiap detik menjadi keabadian setelah aku terjaga dan aku semakin membenci sekaligus juga menikmatinya ketika kenangan-kenangan manis selalu terulang di dalam benakku. Menyebabkan luka di hatiku menjadi kembali berdenyut tak keruan karena pisau yang ditancapkan olehnya menancap semakin dalam ketika kenangan – kenangan manis itu terlintas membawa kegetiran bersamanya. Aku tahu betapa sakitnya semua rasa itu, tapi diriku sangat tak berdaya untuk terbawa oleh manisnya godaan kenangan. Bagiku, rasa sakitnya sepadan dengan kenikmatan dan kemanisan yang dibawa oleh semua kenangan tersebut.

Sekarang aku baru menyadari mengapa setiap agama melarang manusia untuk kecanduan. Walaupun demikian , aku tetap tak peduli. Aku telah merasakan surgaku sendiri di sini, saat ini, ketika kenikmatan itu membawaku terbang bersama seluruh kenangan manis yang ada di dalam dirinya. Ia membawakan kelegaan bagi hatiku walau aku juga menangis di dalam waktu yang sama. Tapi bukankah juga dibutuhkan sebuah perjuangan penuh air mata saat hendak mencapai surga? Bagiku kecanduan ini bagaikan simbol cinta tak bersyaratku untuknya.

Aku menikmati kecanduan ini tapi juga sekaligus membencinya karena rasa sakitnya. Aku membutuhkan penawar dari kecanduan ini. Aku sadari itu tapi di saat yang bersamaan diriku juga berharap bahwa aku tak bisa menemukan penawarnya. Aku tak mau berbelok dari jalan yang menuntunku ke surga. Aku tak ingin mengkhianati cinta tak bersyaratku kepadanya.

Maret…April…Mei…Juni…Juli…Agustus…September…Oktober…

“Seharusnya kau lebih kuat sekarang. Ray kan udah pindah sekolah tiga bulan lalu,” Ivy berkata di seberang telpon sana. Ia selalu setia menemaniku, bahkan walau aku sengaja untuk menjauh agar aku bisa diam – diam menangis tanpa terlihat saat menyadari diriku terperangkap dalam kesendirian dan kembali disiksa oleh kesedihan yang ku sambut dengan tangan terbuka setiap kali kenangan manis membantuku untuk menancapkan pisau tak terlihat itu lebih dalam.

“Entahlah,” jawabku serak karena suaraku tercekat menyadari bahwa dia telah pergi, bukan hanya secara emosional tapi juga secara fisik. “Aku tak tahu harus berbuat apa.”

“Kau harus dorong dirimu, Faith. Kau tak bisa hidup di bawah bayang – bayang dia selamanya. Dia sudah pergi dan akan punya dunianya sendiri. Mungkin ada baiknya juga kau cari pengganti yang baru yang bisa membuatmu memulai duniamu yang baru.“

Ivy tak pernah lelah mendorongku, bahkan di saat yang lain sudah memperingatkanku untuk tidak berhubungan dengan Ray karena dia dianggap sebagai playboy paling mahir di sekolah tapi dia selalu mendorongku dalam hubunganku dulu bahkan hingga sekarang aku telah putus dari Ray. Dia selalu percaya bahwa aku pasti bisa melakukan hal yang terbaik untuk diriku sendiri. Satu hal yang selalu membuatku tertawa dengan sinis karena aku menyadari betapa tololnya aku untuk pernah berhubungan dengan Ray. Tapi entah mengapa, aku masih merasakan sebuah kesenangan atas ketololan itu karena aku yakin ini yang dimaksud cinta tak bersyarat. Aku bangga bisa menerapkannya. Bangga karena masih bisa mencintai orang yang telah melukai diriku dengan segenap hatiku dan berbahagia saat mengingat semua kenangan bersamanya.

“ Dia tak bisa tergantikan oleh siapapun. Aku akan bisa memulai duniaku tanpa dia.”

“ Kau bisa,” Ivy mulai menekankan. “ Tapi kau tidak mau.”

Aku membanting teleponku. Aku terlalu takut untuk mendengar kata-kata berikutnya. Ku sadar kata – kata itu bisa menjadi penawar, tapi aku tak mau mendengar atau mungkin bisa jadi karena kata – kata itu adalah penawar, makanya aku tak mau mendengarnya.

Aku menggeleng- gelengkan kepalaku, berusaha untuk menepis kata – katanya di dalam benakku, aku berusaha meyakinkan diriku sendiri, aku sendiri tak mengerti mengapa aku meyakinkan diriku dengan cara seperti ini. Kau tak mungkin bisa, Faith.

Dan aku pun kembali merasakan pisau itu menancap semakin dalam, menyakitkan tapi membawakan sebuah kenikmatan saat merasakan sakitnya. Terserah orang mau bilang apa, mereka tak ada di posisiku dan hanya dengan kecanduanku ini aku bisa bertahan hidup.

“Hai, kau udah mengerjakan PR Matematika, belum?“ Will menyapaku sembari tersenyum dan meletakkan tas berwarna hijau tua kehitamannya di samping tempat dudukku.

Wali kelasku di kelas 11 memosisikannya duduk di sampingku. Semula aku pikir ia hanya akan mengangguku yang hendak menyendiri di pojok kelas sebagaimana juga setiap orang yang pernah duduk di sampingku. Tapi nyatanya tidak. Ia hanya menyapa sesekali, mengajukan pertanyaan yang bisa dijawab oleh anggukan dan gelengan, tapi yang paling menakjubkan adalah ia tetap bisa menyunggingkan senyumnya setiap saat kepadaku walau aku hanya membisu. Tanpa banyak kata, ia mengubah keheninganku menjadi kebahagiaan baginya dan juga diriku.

Keheninganku yang membawa kemuraman selalu bertemu dengan kesunyiannya yang menyimpan keceriaan setiap hari. Aku sangat menikmati setiap momen bersamanya, terutama ketika aku menelungkupkan kepalaku di atas meja dan menangis saat waktuku kembali mundur ke saat – saat termanis yang pernah ku kecap. Ia tak pernah menasehatiku apalagi mendorongku untuk bangkit melupakan masa lalu, ia hanya memberikan sehelai tissue tanpa berkata apa – apa.

Ketidakpeduliannya membuatku terlena di dalam masa lalu, di dalam kemanisan yang sangat ku dambakan untuk terulang kembali. Ada yang berbeda setiap kali kesadaran menarikku dari memori seminggu belakangan ini. Aku tak lagi kesal karena tak bisa menikmati kesakitan lagi setelah kenangan itu menancapkan pisaunya semakin dalam. Aku tetap bisa bahagia, menyadari pencipta kenyamanan yang menghanyutkanku dalam memori tetap di sampingku.

Hingga akhirnya sebuah bisikan yang mengagetkan bergetar di telingaku. “Will…“

Apa yang aku lakukan!? Kenapa aku tiba- tiba memanggil namanya!?

“Ya?“ Will menatapku sembari tersenyum, tidak terlihat kaget ketika namanya ku panggil walau aku sendiri kaget mendengar diriku memanggil namanya.

Mungkin jika teman – temanku yang lain mendengarku memanggil nama mereka di dalam kelas seperti itu, mereka akan segera memanggil dukun karena mengira aku sudah kesurupan setan hingga bisa bicara lagi setelah selama sepuluh bulan belakangan ini aku semakin sering melamun dan meratapi kenangan yang tak akan pernah kembali lagi. Tapi ia tetap terlihat tenang, tidak terkejut ataupun heran. Tersenyum layaknya ia adalah senyuman itu sendiri.

Aku bingung hendak mengucapkan apa kepada Will, tapi tanpa bisa dijelaskan, lidahku bekerja lebih cepat daripada otakku, entah didorong oleh insting atau emosi. “Ummm…aku mau pergi ke…toko buku sore ini. Kamu mau…temani aku?”

Dia hanya tersenyum lebih lebar mendengarkan kegugupanku. Ia menganggukkan kepalanya sekali dengan tegas. Kilauan indah di matanya semakin berpendar seperti sebuah maha bintang yang mampu menerangi sebuah galaksi kelam yang tak berbatas.

Dan akulah galaksi kelam yang tak berbatas itu.

November…Desember…Januari…

Setiap kali berpergian dengannya, aku merasakan sebuah kekebasan akan luka. Pisau itu seolah menghilang berikut lukanya dari hatiku. Kenangan – kenangan manis itu digantikan oleh momen yang nyata ketika ku tertawa bersamanya. Di sisiku, ia bagaikan sebuah pembius yang menjadi candu. Setidaknya, itulah yang selama tiga bulan belakangan ini kupikirkan.

Tanggal 7 Februari, aku mulai merasakan adanya sebuah kesendirian yang kembali menghinggapiku dalam skala lebih besar. Seminggu menjelang Valentine, setiap temanku akan mempunyai pasangan berkencan masing – masing. Tapi mungkin aku hanya akan berkencan dengan pisau tak terlihat itu nanti seperti yang sedang ku lakukan sekarang. Aku tahu mungkin Will akan dengan sangat senang hati menjadi kencan Valentine ku tapi…

Ringtone HP-ku berbunyi. Mendendangkan lagu I Will Survive yang sudah tiga bulan ini ku pakai. Liriknya mengesankan bahwa aku kuat tanpa Ray di sisiku, tapi aku, bahkan semua orang di sekelilingku, tahu bahwa lagu itu adalah pemicu kecanduanku karena mengingatkanku bahwa aku tak sekuat liriknya sehingga ingin merasakan candu itu lagi.

Nama Will tertera di layar. Entah mengapa aku malah merasa ada kesesakkan ketika melihatnya, tidak lagi ada kenyamanan, setelah aku teringat kata – kata sesudah ‘tapi’ tadi.

“Ada apa, Will?“ tanyaku setelah berusaha bernafas melalui mulut.

Kumohon jangan, Will…Pikiranku sudah bisa menduga apa yang hendak diucapkannya, aku meminta demi kebaikannya sendiri karena aku tak ingin ia terluka.

“Ummm…Aku…mau tanya…kamu mau tidak jadi pasanganku untuk Valentine nanti?”

Secara refleks aku memencet tombol merah, berusaha menyelamatkannya dari luka dengan melukai diriku. Aku membeku di ranjang tempatku berbaring. Menatap langit – langit dengan penuh kesesakkan. Pisau itu kali ini terasa menancap jauh lebih dalam daripada sebelumnya. Pelupuk mataku kembali tak kuasa menampung air mata.

Selama ini, kenangan – kenangan manis itu masih setia kembali kepadaku di dalam ketiadaan Will. Setiap malam setelah aku diantar oleh Will setelah berpergian, semua sensasi itu kembali mewujud dalam kesendirianku. Menyiksaku yang hendak merasakan kenikmatan yang terus – menerus ku usahakan tetap eksis di setiap detiknya karena aku berusaha untuk tetap setia akan Ray dan hanya dengan terus menerus mengulang kenangan yang manis tapi berbisa itulah aku bisa meyakinkan diriku bahwa aku setia kepadanya, bahwa aku tak bisa hidup tanpanya yang merupakan separuh jiwaku yang telah ku biarkan pergi secara fisik tapi tak pernah ku relakan jauh dari hatiku karena ku berpikir bahwa setidaknya aku bisa hidup dengan bayangan setengah jiwaku. Lebih parahnya lagi, kecanduanku akan Will membuatku semakin tersiksa. Malam semakin memanjang setiap aku berharap Will di sisiku hingga aku tak perlu kembali terjebak di pesta malam yang ku buat sendiri bersama sebilah pisau yang diantarkan oleh kenangan manis di relung luka hatiku. Seolah aku tak cukup menderita atas satu kecanduan, aku sudah kecanduan hal lainnya karena aku berpikir bahwa Will adalah candu yang lebih baik, candu tanpa rasa luka sehingga aku bisa melupakan kehadiran sebilah pisau tak terlihat itu di saat aku bersamanya.

Sesaat ku mencoba untuk memikirkan apa yang terjadi dalam diriku. Pisau itu tetap ada di saat aku bersama dengan Will. Pisau itu bukanlah penyiksa ketika candu itu datang. Pisau itu sendiri adalah kedua kecanduanku. Tentunya, aku tak kan bisa menyembuhkan canduku yang lama dengan menambahkan sebuah kecanduan lainnya. Ray yang pertama kali menusukkannya kepadaku ketika ia memberikan harapan yang akhirnya dihancurkan olehnya sendiri, tapi aku lah yang menancapkannya semakin dalam, berpikir bahwa aku akan terlihat mencintainya dan bahagia ketika meneruskan apa yang dilakukannya. Instingku yang hendak menyelamatkan diri dari rasa sakit terus – menerus yang harus ku terima untuk kenikmatan sesaat membawaku kepada Will namun sayangnya candu pertamaku membuatku tak bisa berpikir jernih sehingga mengubahnya seolah – olah ia adalah candu yang lain, meyakinkanku untuk menancapkan pisaunya semakin dalam. Itulah mengapa pisau itu menancap semakin dalam ketika malam menjelang. Karena jika Will dipandang sebagai sebuah candu maka ia juga akan membawa pisau itu bersamanya. Will memang jauh lebih baik tapi ia bukanlah candu. Aku seharusnya menyadari itu semua sejak awal. Dia adalah penawar yang dengan bodohnya ku salah artikan karena telah terjebak dalam kecanduan yang bermula dari pengertian cinta tak bersyarat yang salah.

Akhirnya aku dapat melihat pisau yang selama ini menancap di dalam hatiku. Selama ini pisau itu tak terlihat karena aku yang selalu menggenggam gagangnya. Aku yang telah menancapkan pisaunya semakin dalam maka seharusnya aku juga lah yang bisa mencabutnya. Semua lukaku sembuh seketika seiring hilangnya pisau kemelekatan dan kebodohan dari ku.

Pengertianku akan cinta tak bersyarat yang tercerahkan membuatku yang selama ini berpikir bahwa aku tak bisa hidup tanpa setengah jiwaku akhirnya menyadari bahwa setengah jiwaku tak pernah kemana – mana, ia bertransformasi di dalam hatiku dari sebuah candu menjadi penawar yang memampukanku untuk menemukan jati diriku yang selama ini hilang. Namaku adalah Faith tapi dialah yang memberiku keyakinan. Saat itu jugalah, aku segera meraih telpon genggamku. Aku hendak membalas kebaikannya, berterima kasih karena telah memberikan sebuah kebebasan dan juga pengertian yang benar akan cinta yang tak bersyarat.

Suaranya yang khawatir membuatku begitu lega di dalam lelah. ”Are you okay, Faith?“

“Ya, aku tidak pernah lebih baik sebelum ini,” jawabku dengan tegas, dalam sebuah keyakinan yang lebih besar lagi, aku bertanya. “Oh iya, undanganmu masih berlaku tidak?“

-------------------------------------------------------------------------------------

Beberapa hal yang hendak saya sampaikan dalam cerpen ini adalah :
- Ketidakrelaan akan suatu hal yang kita cintai dan pergi adalah sebuah pertanda akan kemelekatan dan tidak pernah ada yang baik dalam sebuah kemelekatan, bahkan anda sendiri seringkali sadar bahwa anda menyiksa diri anda sendiri, namun bagaikan seorang masokis, anda tetap melanjutkannya karena anda membiarkan diri anda dikuasai oleh kemelekatan tersebut
- Kemampuan orang untuk melepaskan diri dari kemelekatan tidaklah memiliki batas dan bergantung kepada keinginan orang yang melekat agar bisa tidak melekat. Pikiran anda adalah subyek sekaligus objek. Anda yang berpikir anda bisa melampaui semua kemelekatan tersebut, maka anda akan didorong untuk melakukannya dan berhasil untuk melakukannya dengan usaha dan niat yang kuat. Ketika anda berpikir anda tidak bisa, maka hasilnya pun akan sama tidak bisanya.
- Kebodohan terkadang membuat kita tak bisa membedakan antara yang mana yang namanya ego dan yang mana yang namanya kebahagiaan sejati, ditambah lagi dengan pikiran yang "mau" ikuti alur kerumitan di dalam sebuah masalah, maka hal itu akan menjadi sebuah penyiksaan bagi diri sendiri yang sangat "nikmat". Beberapa orang memutuskan untuk merasa nyaman dalam penderitaannya, disadari maupun tidak disadari. Hanya dirinya sendirilah yang bisa membantu dirinya keluar dan tak akan ada satupun orang lainnya yang bisa membantunya. Bahkan sebuah bantuan untuk menarik orang tersebut keluar dari penderitaan bisa dianggap sebuah ancaman oleh orang yang nyaman dalam penderitaan tersebut. Orang yang merasa nyaman dalam penderitaannya adalah penyerang bagi dirinya sendiri, namun hanya ia sendiri juga yang bisa menjadi penerang bagi dirinya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar